Bagikan :

Jumat, 29 November 2013

: Posted on Jumat, 29 November 2013 - 05.19 with No comments

Kesempatan Kedua Dan Keajaiban Mesin Waktu. Memiliki kesempatan dan waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan tentu akan menjadi hal yang sangat berharga. Tapi tahukah Anda bagaimana kesempatan seperti itu bisa kita dapatkan? Ternyata kesempatan seperti itu tidak jatuh dari langit, tapi harus kita buat, kita usahakan.
Waktu. Johan Suryantoro
Apa yang akan Anda lakukan jika seandainya diberi kesempatan kedua dalam hidup Anda? Misalnya dengan bantuan sebuah mesin waktu yang bisa membawa Anda ke masa beberapa tahun silam dalam kehidupan Anda. Dan Anda pun bisa hidup denga usia yang sesuai pada masa tersebut lagi. Jawaban yang logis mungkin Anda akan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah Anda lakukan. Tapi, apakah Anda masih ingat dengan kesalahan-kesalahan yang sudah Anda perbuat? Kekeliruan-kekeliruan yang membuat kehidupan Anda terasa menjadi tidak berhasil dan bahagia. Maka Anda saat itu mulai berfikir dan bertindak secara lebih bijaksana.

Percayalah, membuang waktu dan kesempatan baik yang ada merupakan hal terbodoh dalam hidup ini. Kebahagiaan dan sukses tidak hanya muali disusun dari sekarang, tapi sejak Anda lahir. Semangat dan keberanian harus mewarnai hari-hari Anda.

Saya pernah menonton sebuah film yang menceritakan tentang seorang anak siswa High School (SMU) yang melepaskan karirnya yang cemerlang di olah raga bola basket demi mengejar si pujaan hatinya. Adegan pindah ke saat dimana sang pemain basket tidak lagi menekuni bola basket, telah memiliki dua anak remaja dan sedang dalam proses cerai dengan istrinya yang notabene pujaan hatinya kala itu. Lalu ia bertemu seorang kakek tua yang memberinya kesempatan kedua untuk menjadi muda kembali dan kembali ke tempat ia bersekolah waktu lalu. Kesempatan kedua ini ia gunakan untuk meluruskan sesuatu yang selama ini salah dalam hidupnya. Sambil membantu anaknya agar menjadi lebih percaya diri ia juga berusaha menemukan benih-benih cintanya kepada pujaan hatinya yang telah terkubur selama ini. Seperti cerita film-film lainnya maka film ini pun berakhir happy ending.

Bayangkan bila anda memiliki mesin waktu dan anda bisa bepergian sepuluh tahun ke depan dan semuanya sempurna dan sangat indah, bagaimanakah kriteria sempurna menurut anda? keadaan finansial anda yang berlimpah atau karir cemerlang atau bisnis berkembang dengan pesat, rumah pribadi, mobil pribadi, hubungan dengan keluarga harmonis dan banyak waktu luang bersama keluarga?

Gunakan imajinasi anda untuk menata kehidupan anda sepuluh tahun ke depan dan sekarang saatnya anda kembali ke saat ini dan mulai menuliskan apa yang anda bayangkan di masa depan anda. Mulai menata dan menyusun target seperti yang anda lihat melalui mata imajinasi anda dan mulai mencari cara agar target tersebut bisa terlaksana setahap-demi setahap hingga anda mencapainya secara penuh. Inilah teori second chance (kesempatan kedua) dari Brian Tracy yang mirip dengan cerita film tadi. Dengan berimajinasi ke masa depan kita sudah tidak membutuhkan keajaiban yang bisa membawa kita ke masa lalu dan tetap bisa menata hidup kita mulai saat ini dengan melihat masa depan yang kita inginkan melalui mata imajinasi kita.

Bila anda tidak pernah mencobanya, mungkin inilah saat yang paling tepat untuk mencoba menggunakan imajinasi anda dan melihat kehidupan anda di masa depan, bila anda tidak menyukainya, maka anda bisa kembali ke masa kini dan anda mendapatkan kesempatan kedua untuk merubah keadaan saat ini dan masa depan anda tentu akan menjadi lebih baik dan lebih berarti. Bukan hanya bagi diri anda sendiri tetapi juga orang sekeliling anda dan keluarga anda. Lakukan yang terbaik saat ini, ubah hidup anda satu persen setiap hari dan temukan perubahan sebanyak 365 persen di hari yang sama tahun depan.

Senin, 25 November 2013

: Posted on Senin, 25 November 2013 - 04.33 with No comments

Kisah Di Antara Dua Gelas Kopi Instan. Cerita pendek (cerpen) ini menggunakan sudut pandang orang pertama (aku atau saya) sebagai tokoh sentral. Tokoh kita dalam cerpen ini bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami oleh orang ketiga. Orang itu adalah Keken. Gadis manis yang sedang gelisah karena kekasihnya sering tidak ada jika sedang ia butuhkan.
Laptop dan Kopi. Johan Suryantoro
Kisah Di Antara Dua Gelas Kopi Instan
Oleh: Johan Suryantoro

Ini gelas kedua kopi instan yang sudah aku buat malam ini. Perjalanan malam sudah makin larut, memasuki dini hari. Jam 1 kurang seperemat. Gelas kopi yang pertama sudah menjadi penghuni bak cuci piring.

Aku kembali menekuni tuts demi tuts pada keyboard. Masih bercerita tentang malam. Tentang seseorang yang selalu aku cari sosoknya. Tentang sebuah dunia yang terus menggulirkan kisah-kisahnya. Dari titik kecil yang meloncat ke hamparan besar. Dan selalu menjadi bagian kecil dari jutaan cerita. Hingga aku kembali pada sosok seorang Keken. Tokoh sentral dalam serial cerpen "Hari-hari Keken" yang sudah beberapa kali aku terbitkan. Gadis yang selalu berusaha tidur diatas mimpi-mimpinya. Tapi tidak untuk malam ini. Seperti aku, malam ini Keken belum terlelap dalam jubah sang malam.

=======

Keken kembali meneguk kopi instan dari gelas besar itu. (Aku sengaja menulis bahwa dia juga sedang minum kopi instan malam ini. Sebab aku tidak bisa membayangkan dia sedang minum es teler saat malam makin larut. Menurutku, itu cari penyakit). Sesekali Keken menoleh keluar jendela kamar. Ada bayangan bulan yang mengintip dari sela-sela daun pohon kelapa. Malam ke 22. Bulan jadi terlambat muncul. Seperti dia, ujar Keken dalam hati. Kembali Keken mengetikkan sesuatu pada tuts keyboard laptop. Sekedar update status di facebook. "Malam ini, hanya ada aku dan rembulan".

Dia selalu terlambat muncul. Bahkan sering tidak muncul sama sekali. Waktunya selalu tersita untuk yang lain. Hari-hari Keken lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan di kampus, untuk keluarga bulek Sul tempatnya tinggal di Semarang ini, kadang sibuk menggarap order desain iklan dari kantor dimana Keken bekerja paruh waktu. Saat menjelang tidur, browsing dulu di dunia internet. Itu saja. Tanpa ada dia. Dan ajaibnya, ini sudah menjelang 3 minggu terjadi.

Keken merasa tidak sedang berbicara tentang dirinya saja. Tapi tentang sebuah komitmen. Tentang dirinya dan dia. (Dia siapa? Ya pacar si Keken lah. Siapa namanya? Bagaimana kalau kita beri nama Otong? Ok, bisa diterima dengan kesepakatan bulat). Tentang Otong yang hampir tidak punya waktu lagi untuk Keken. Sudah tidak punya waktu lagi untuk sekedar menyapa melalui telepon dan bilang "Hallo sayang, bagaimana kabarmu hari ini. Maaf ya, aku belum bisa menemuimu. Rumah ortu lagi digusur satpol PP nih". Misalnya.

Tapi itu tidak terjadi. Sebenarnya bisa saja Keken bersikap cuek bebek atau cuek ayam kalkun. Toh Keken punya seabrek kesibukan juga. Tapi, Otong kan pacarnya. Harusnya, yang terjadi seperti layaknya orang yang sedang berpacaran. Ada suasana malam minggu, duduk berdua di cafĂ©, atau sekedar jalan berdua di jalanan kota ini. Tapi, masa’ memang harus begitu sih prosedur orang yang lagi pacaran. Pakai undang-undang yang mana?

=======

Setting waktu sudah meloncat ke satu minggu kemudian. Lebihnya 2 hari.

Malam ini, seperti pada malam ke-22 itu, Keken kembali meneguk kopi instan dari gelas besar yang sama. Dan sesekali juga dia menoleh keluar jendela. Tapi hanya langit dan beberapa bintang yang mengintip dari sela-sela daun pohon kelapa itu. Rembulan sudah berada di sisi langit yang lain. Bulan dengan sedikit bayangannya sudah muncul menjelang maghrib tadi. Tapi Otong sudah tidak pernah muncul lagi dalam hari-hari Keken. Aku tidak bisa berjalan dengan orang yang selalu menghindariku, begitu jawab Keken setiap ditanya tentang hal ini. Mereka bubar. Mungkin ini keputusan yang terbaik, mungkin juga tidak, siapa yang tahu.

Dan seperti biasa, sebelum tidur, Keken menulis sesuatu untuk update status pada facebook. "Untuk sementara, sendirian itu pilihan yang terbaik. Aku bisa memiliki hari-hariku sendiri sepenuhnya".

Aku rasa tidak perlu mengetikkan komentar atau memberi tanda like pada update status facebooknya itu. Karena ini hanya bagian dari sebuah cerpen.

=======

Aku hanya menganggukkan kepala mengetahui keputusan yang Keken ambil. Mungkin aku tidak pernah tahu, atau tidak pernah mau tahu, apa itu memang keputusan yang baik. Apa dalam kesendirian kita bisa menemukan arti hidup ini? Setahuku, hidup akan memberikan artinya saat kita membaginya pada orang lain. Pada keluarga, teman, kekasih, atau orang lain. Tapi setiap orang punya cara sendiri untuk menjalani hidupnya.

Aku meminum habis kopi instan terakhir. Sepertinya cerpen tentang Keken ini sudah selesai aku ketik. Bisa saja dibuat panjang, tapi bukan cerpen lagi namanya. Malam sudah makin larut. Tekan tombol disconnection, dan matikan laptop. Ada selimut malam yang sudah menunggu.

: Posted on - 04.16 with No comments

Suatu Malam Diatas Kapal, Antara Merak Dan Bakauheni. Cerpen atau cerita pendek ini berkisah tentang percakapan antara Keken dan seorang ibu yang baru dikenalnya di deck kapal ferry yang sedang berlayar dari pelabuhan Merak ke pelabuhan Bakauheni. Percakapan di malam hari saat melintasi Selat Sunda itu menyadarkan Keken, bahwa cinta bisa memberikan apa saja. Dari kebahagiaan hingga rasa kecewa dan sakit hati yang bagai tak berkesudahan.
Kapal Ferry. Johan Suryantoro
Suatu Malam Diatas Kapal
Oleh: Johan Suryantoro

"Jgn selingkuh ya".
Satu lagi sms pendek dari Otong masuk ke inbox sms ponselnya Keken. Si ceking itu selalu saja bikin pesan singkat yang aneh-aneh. Emangnya aku ada potongan type cewek tukang selingkuh?, gerutu Keken dalam hati. Ndak ada potongan, kalau jahitan mungkin iya. Hehehe… Punya satu aja sudah susah ngurusnya, apa lagi kalau sampai punya lima cowok. Wah….

Keken memasukkan lagi ponselnya ke saku jacket. Malam ini cuaca di Selat Sunda cukup cerah. Ada bulan, ada bintang, dan barisan awan tipis di langit utara. Dan ada sekotak kuaci di tangan Keken. Tadi sudah makan malam, jadi tidak perlu bawa bubur kacang ijo ke pagar deck. Cukup kuaci saja, merknya cap kuda terbang.

"Dasar laki-laki, selalu mau menang sendiri. Dulu, pertama ketemu, aku memang sudah begini. Masa’ itu terus yang dijadikan alasan", tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menggerutu pelan, agak jauh di samping Keken. Sepertinya sedang menyudahi percakapan di ponsel. Keken jadi menghentikan sebentar acara mengunyah kuacinya. Lalu menoleh ke arah sumber suara. Seorang ibu, mungkin umur empat puluhan tahun. Ibu itu juga sudah melihat kearah Keken. Mereka berdua jadi saling tersenyum, basa-basi. Si ibu terlihat berjalan mendekati Keken, masih dengan senyumnya.

"Maaf ya, kalau tadi adik jadi terganggu", si ibu berkata pelan. Wajahnya sekarang terlihat jelas. Cukup cantik untuk perempuan yang sudah berusia empat puluhan.
"Ndak apa koq, bu. Saya cuma dengar yang terakhir tadi. Ibu tadi lagi ngomel ya?", Keken bertanya. Cewek itu sejenak jadi terkejut, koq aku jadi bertanya kayak gitu ya. Wis.., ndak apa, sudah terlanjur.
Si ibu hanya tersenyum dengan pertanyaan Keken tadi. Biasa, anak muda suka ceplas-ceplos. Anak-anaknya juga sering begitu. "Seperti yang adik dengar tadi", jawab si ibu sambil tertawa.

"O iya bu, saya Keken, dari Semarang mau ke Kotabumi. Lagi pulang kampung, nengok orang tua.", Keken mengulurkan tangan kanannya yang segera disambut oleh si ibu. Itu pasti gerak reflek.
"Saya Sundari, panggil aja bu Ndari. Kalau saya mau pulang ke Metro." Jawab bu Ndari. Wah.., ibu Ndari ini lumayan ramah, padahal tadi baru saja ngomel, entah dengan siapa, Keken memuji dalam hati.

"Dik Keken…", bu Ndari mulai bersuara lagi tapi keburu dipotong Keken, "Keken aja, bu".
"Ya..ya, lebih enak Keken aja. Apa Keken kerja di Semarang?", bu Ndari mencoba bertanya.
"Saya kuliah disana, sambil nyambi kerja freelance, kalau ada yang nawarin job", jawab Keken lalu menawarkan kuacinya pada bu Ndari. Ternyata bu Ndari juga lagi bawa kuaci. Mereka berdua jadi tertawa.

"Kerja freelance di bidang apa?", tanya bu Ndari ingin tahu.
"Di periklanan, bu", jawab Keken.
"Oooo.., yang tampil di iklan kartu ponsel itu ya", bu Ndari mencoba menebak.
"Bukan, bu. Itu Luna Maya. Saya kerja di bagian grafis", jawab Keken agak terkejut.
"Lho…, bukan Keken toh? Habis, mirip sih"
Mirip?, batin Keken dalam hati. Koq si Otong tidak pernah bilang begitu ya. Pasti mata si ceking itu sudah rusak.

Setelah puas berbasa-basi, bu Ndari mulai bercerita tentang suaminya yang sering mengeluh karena bu Ndari masih tetap sibuk dengan usaha dagang buah-buahan. Bu Ndari punya usaha membeli buah-buahan dari para pemilik kebun buah di sekitar kota Metro lalu membawanya dengan mobil truck ke Jakarta. Usaha itu sudah dirintisnya sejak dia lulus SMA. Jauh sebelum bu Ndari menikah dengan suaminya yang sekarang mengusahakan ternak ayam potong.

Suami bu Ndari sering protes karena bu Ndari tetap sering mengikuti truck buahnya ke Jakarta. Bu Ndari mengendari mobilnya sendiri, bukan ikut naik truck, begitu ceritanya. Suaminya bilang anak-anak mereka perlu perhatian dari bu Ndari yang memang jadi jarang di rumah. Sebab setelah pulang dari Jakarta, bu Ndari membawa dagangan pakaian jadi untuk didrop di beberapa toko di Tanjung Karang. Bu Ndari sering menyadari masalah itu. Tapi dia merasa tidak bisa kalau hanya diam di rumah. Dia sudah terbiasa bepergian mengurus usahanya.

"Urusanmu itu kan bisa diserahkan pada orang yang bisa kamu percaya. Pilih siapa kek orangnya yang bisa ngurus itu. Ndak baik bu, kalau perempuan sering bepergian sendiri meninggalkan rumah", beberapa kali suami bu Ndari berkata seperti itu.
"Aku ndak percaya sama siapa-siapa, pak. Aku ndak mau jadi kayak pak Awang yang sekarang usahanya jadi bangkrut gara-gara terlalu percaya pada orang lain", bu Ndari membalas.
"Iya, pak Awang pacarmu itu ya", suami bu Ndari menutup pertengkaran dengan kalimat yang membuat bu Ndari jadi terdiam.

Keken tersentak kaget mendengar bagian itu dari mulut bu Ndari. "Bu Ndari pernah selingkuh?", dengan hati-hati Keken bertanya. Lalu melihat ke sekitar. Di luar deck itu hanya mereka berdua. Syukur deh.

"Kadang kita salah menyikapi perasaan kita. Dulu kami sempat kerja sama untuk dagangan pakaian jadi. Pak Awang lah orang yang pertama kali membimbing saya berdagang pakaian jadi. Dia orang baik dan telaten mengajari saya seluk-beluk berdagang pakaian jadi. Tapi kami jadi terseret ke arah hubungan yang lain. Selama setahun kami terseret hingga akhirnya istri pak Awang tahu. Pak Awang ndak dibolehkan lagi bepergian mengurus usaha dagangnya. Seorang adik istrinya yang selanjutnya menangani urusan dagangnya. Sejak saat itu kami ndak pernah bertemu. Suami saya tahu hubungan kami setelah istri pak Awang memberitahu melalui telepon. Kami jadi sering bertengkar. Bahkan suami saya pernah membalas dengan perbuatan yang sama. Saya hanya bersikap diam. Dengan perantara keluarga, kami bisa rukun lagi", bu Ndari bicara pelan, bahkan hampir tertutup suara ombak dibawah sana. Wajahnya berubah murung, tidak secerah beberapa menit lalu.

Selama satu menit mereka berdua terdiam. Keken jadi merenung. Hidup ini tidak selalu menawarkan kebaikan. Memang betul kalau ada yang bilang dunia ini hanya panggung sandiwara. Banyak aktor dan aktris yang bermain di panggung itu. Siapa yang jadi penonton? Tidak tahu, emangnya gue pikirin, Keken berujar dalam hati.

"Bu Ndari dan suami sudah baikan lagi, kan?", Keken bertanya memecah kebisuan yang tercipta tanpa disengaja itu.
"Kami sudah bercerai dua tahun yang lalu".
Jawaban itu jadi ending cerita yang bikin Keken jadi terkejut. Keken tahu, perselingkuhan memang sangat sulit untuk dimaafkan. Selalu jadi alasan yang tepat untuk saling membenci dan tidak saling percaya.

"Ken, ibu mau ke mobil dulu ya. Sudah ngantuk", bu Ndari pamitan menyudahi percakapan itu. Lalu masuk ke deck dan menuruni tangga penumpang. Keken hanya mengangguk mengiyakan.

Gadis itu lalu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya, seraya berdoa pelan. Mudah-mudahan aku ndak mengalami yang seperti itu. Malam yang cerah ini tiba-tiba jadi terasa aneh. Keken jadi teringat sesuatu. Dia belum membalas sms dari Otong. Dikeluarkannya ponsel dari saku jacket. Dan mulai mengetik sms balasan untuk Otong.

"Tong, awas ya klo kmu smpe SELINGKUH!!!".

: Posted on - 03.50 with No comments

Halusinasi Ara. Cerpen atau cerita berikut ini adalah kelanjutan dari cerita sebelumnya, Halusinasi Ara…. Kisah ini mulai menampakan keganjilannya. Ada sesuatu yang misterius sedang terjadi. Apa sesuatu yang misterius itu? Kita baca selengkapnya kisah pada episode kali ini.
Malam. Johan Suryantoro
Halusinasi Ara
Oleh: Johan Suryantoro

Sambungan dari episode sebelumnya: Setelah Makan Malam Itu

"Keken…! Keken…! " Ara berteriak-teriak panik memanggil. Tiba-tiba di belakangnya terdengar keras derum mesin. Ara menoleh ke belakang, mobil truk itu bergerak cepat meninggalkan jembatan. Spontan pemuda itu berteriak, "Haii...berhenti! Jahanam, jangan lari!"

Beberapa langkah Ara mencoba mengejar, tapi truk itu sudah melesat jauh. Mustahil bisa terkejar hanya dengan berlari. Sambil terus berteriak memaki Ara berbalik dan berlari lagi ke sisi jembatan. Sebuah mobil Taxi sudah berhenti disitu. Kaca pengemudi diturunkan dan terdengar teriakan memanggil dari si pengemudi, "Ara...!". Ara mengenal pengemudi Taxi itu. Lelaki itu dan mobil taxinya sering mangkal di kantin seberang jalan kampus.

"Apa pak Jati bawa lampu senter?", tanya Ara sambil menggigil kedinginan setelah berdiri di samping Taxi. Hujan sudah mulai reda.
"Ada apa?", pengemudi Taxi berumur menjelang 50 tahun itu balik bertanya. Tapi cepat segera dibukanya laci dashboard. Ada sebuah lampu senter disitu.
"Keken jatuh ke Sungai."
"Hahh..?!", pak Jati ternganga kaget. Cepat diulurkannya lampur senter pada Ara sambil membuka pintu mobil Taxinya. Semenit kemudian dengan tergesa kedua orang itu menuruni anak-anak tangga yang menuju ke bawah kolong jembatan. Sepetak lantai di kolong jembatan sudah hampir terendam air sungai.

Beberapa menit sorot lampu senter menyapu permukaan air sungai di sekitar kolong jembatan. Lalu menyorot hingga beberapa puluh meter mengikuti aliran sungai yang tenang.
"Keken pasti hanyut", Ara menggumam ngeri. Kekhawatiran yang amat sangat makin mencengkeram fikirannya.

"Ara..!", sebuah teriakan memanggil dari atas jembatan. Serentak Ara dan pak Jati mendongakkan kepala keatas. Ara tercekat kaget. Dengan tatapan yang menggambarkan rasa tak percaya Ara memandang lekat keatas jembatan, ke arah Keken yang berdiri disitu. Dikedip-kedipkannya matanya, tapi Keken masih ada berdiri diatas trotoar jembatan itu. Ini bukan khayalanku, batinnya. Dilihatnya pak Jati juga memandang keatas jembatan, ke arah Keken. Tanpa menghiraukan perasaan aneh yang sempat menyergap otaknya, meledaklah tawa senang dari mulut Ara. Rasa takut dan khawatir itu lenyap seketika dan membawanya segera berlari kembali keatas jembatan. Pak Jati mengikuti di belakangnya.

"Kamu tidak apa-apa?", tanya Ara pada Keken sambil menatap cermat pada gadis itu, dari ujung rambut sampai ujung sepatu kets-nya. Keken benar-benar masih utuh, hanya sedang menggigil kedinginan saja. Aneh, Ara membatin.

"Kamu kedinginan", ujar Ara kembali mengkhawatirkan Keken.
"Aku basah kuyup kehujanan, jelas kedinginan", jawab Keken.
"Bukan cuma kehujanan, kamu terjatuh ke sungai", sahut Ara.
"Aku terjatuh ke sungai? Kenapa aku sampai jatuh ke sungai? Dari tadi aku disini. Aku menyeretmu ke trotoar setelah kamu terguling ke tengah jembatan. Kamu pingsan. Saat bingung memikirkan cara untuk membawamu pulang, untung ada Taxi pak Jati datang. Tapi tiba-tiba kamu siuman lalu berteriak-teriak histeris. Meminjam senter pada pak Jati dan berlari ke bawah jembatan. Tahu tidak, kamu sudah bikin aku ketakutan sekali", Keken mencoba menerangkan. Ditatapnya Ara dengan raut wajah khawatir.

"Tidak mungkin", Ara membantah sengit. "Aku memang terpeleset dan terguling ke tengah jalan jembatan karena terkejut dengan suara petir. Tapi aku tidak pingsan. Aku sempat melihat sebuah mobil truk besar melaju dari ujung sana, dan kamu berlari ke tempat aku terduduk. Lalu kamu mengangkat dan melemparkan aku ke trotoar jembatan. Ya Tuhan, seharusnya aku heran bagaimana kamu bisa sekuat itu. Dan dengan sangat jelas aku melihatmu tertabrak mobil truk itu dan terlempar ke bawah jembatan. Jelas sekali aku dengar suara tubuhmu tercebur di sungai. Oohh.., tadi aku benar-benar jadi panik."

"Coba lihat aku baik-baik. Aku cuma basah kuyup. Kalau sebuah mobil truk menabrakku, seharusnya badanku sudah remuk. Mungkin benturan aspal di kepalamu itu membuatmu berhalusinasi yang bukan-bukan. Sudahlah, kita pulang sekarang sebelum kita jadi sakit gara-gara kedinginan," kata Keken.

Ara memandang pada pak Jati. Seakan memohon lelaki paruh baya itu memberikan penjelasan yang terjadi. Pak Jati tidak berkata apa-apa, lalu mengajak mereka berdua masuk ke dalam mobil taxi-nya.

"Aku berhenti ke pinggir saat melihatmu kehujanan, berlari dan berteriak-teriak seperti mengejar sesuatu. Aku terkejut ketika kamu bilang Keken terjatuh ke sungai. Sayangnya aku tidak memperhatikan ke tempat Keken berdiri. Fikiranku hanya tertuju ke kolong jembatan itu, aku fikir Keken memang tercebur ke sungai. Tapi seperti yang kamu lihat, Keken baik-baik saja. Mungkin Keken benar, kepalamu yang membentur aspal itu sudah membuatmu berhalusinasi", pak Jati mencoba menenagkan Ara saat membawa keduanya pulang.

Ara hanya terdiam. Mungkin aku memang berhalusinasi, fikir Ara. Rasa terkejut karena suara petir yang memekakkan telinga lalu kepalanya yang membentur aspal sudah cukup untuk membuat kerja otaknya jadi terganggu. Tapi mengapa bisa terasa benar-benar nyata. Punggungnya masih terasa sangat sakit. Mungkin karena tubuhnya terguling di aspal tadi. Dilirknya Keken yang juga sedang terdiam.

Sebentar kemudian taxi itu sudah berhenti di pinggir jalan, antara rumah Keken dan Ara.
"Kalian berdua turun saja. Malam ini gratis, tidak perlu bayar", kata pak Jati sambil tertawa mencoba menghibur Keken dan Ara.

Kedua anak muda itu tersenyum berterima kasih, lalu keluar dan menutup pintu mobil. Keken cepat kembali dan melongokkan kepala dari jendela mobil.
"Ada apa?", tanya pak Jati.
"Jangan cerita kepada siapa pun ya pak. Nanti Ara bisa jadi malu", pinta Keken. Membuat pak Jati menjadi tertawa terbahak.
"Kamu tenang saja, gadis cantik. Cepat suruh dia pulang, barangkali dia demam", jawab pak Jati.
"Terima kasih untuk tumpangannya, pak", Keken mengeluarkan kepala lagi dan.

Pak Jati melepas injakan kopling, mobil taxinya bergerak pelan meninggalkan Keken dan Ara. Pak Jati masih tersenyum-senyum sambil menggelengkan kepala mengingat kejadian yang dialaminya tadi bersama Keken dan Ara. Ada-ada saja, gumamnya geli. Tiba-tiba ponsel dalam kantong jaketnya berbunyi. Ada yang sedang menghubunginya.

"Ya, halo", pak Jati menjawab panggilan itu. Dengan tenang ia mendengar suara dari lawan bicaranya di ponsel. "Dia baik-baik saja. Tanpa perlu kau tolong pun, dia akan baik-baik saja. Reaksinya memang belum cepat. Mungkin karena dia belum tahu siapa dirinya. Tidak apa. Kita akan segera melatihnya, sebelum si Penghancur keluar dari gerbang. Mudah-mudahan belum terlambat…….",

bersambung…

: Posted on - 03.41 with No comments

Setelah Makan Malam Itu. Cerita ini bukan cerita pendek alias cerpen, melainkan cerita panjang karena ada sambungannya. Entah apa yang ingin dikisahkan si penulis, tapi cerita ini memang punya awal yang agak misterius. Mungkin ini yang disebut cerita misteri. Atau…, jangan-jangan ini hanya akal-akalan si penulis untuk membuat para pembaca menjadi penasaran. Sebaiknya kita baca saja ceritanya.
Sungai. Johan Suryantoro
Setelah Makan Malam Itu
Oleh: Johan Suryantoro

Melalui kaca etalase rumah makan, Keken bisa mengamati pemuda berpakaian serba hitam itu. Dari awal gadis itu tahu bahwa dia sedang dipandangi oleh seseorang. Ia sudah merasakannya, bahkan sebelum melihatnya melalui kaca etalase itu.

"Ngapain tuh cowok ngeliatin aku terus?", tanya Keken dalam hati sambil sesekali melirik ke arah kaca etalase yang ada didekatnya. Dalam fikirannya menebak mungkin begitulah cara penjambret atau perampok bekerja. Mengamat-amati calon korbannya, lalu membuntutinya dan saat sedang berada pada situasi yang memungkinkan baru dia melakukan aksi kejahatannya. Wuiiihhh…, Keken jadi merinding membayangkan fikirannya sendiri. Masa’ di tempat seramai ini?

Kembali ekor mata Keken melirik ke arah kaca etalase. Pemuda itu sekilas seperti menyunggingkan senyum kecil. Sepertinya dia tahu bahwa Keken sedang mengamati gerak-geriknya melalui kaca etalase itu. Ini membuat hati Keken makin khawatir.

"Si Ara mana sih, koq belum datang?", gerutu Keken pelan.
Keken hendak mengambil ponsel dari dalam tasnya saat orang yang sedang ditunggunya itu sudah menarik kursi dan segera duduk di depannya.

"Lain kali, kalau mau datang jam tujuh, ya jam tujuh sudah ada disini", omel Keken sambil kembali menutup tas. Yang diomelin hanya tertawa kecil. "Cengengas-cengenges, bukannya minta maaf." Keken masih melanjutkan omelannya.

Beberapa saat kemudian dua orang pelayan mendatangi meja mereka sambil membawa makanan yang sudah dipesan Keken sebelumnya. Dengan mata berbinar senang Ara memandangi makanan-makanan yang mulai diletakkan satu per satu diatas meja. Terlihat dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lidahnya sedikit keluar sebentar untuk menjilati bibir atas.

"Kamu yang bayar", kata Keken setelah kedua pelayan itu pergi. Membuat binar di wajah Ara menghilang dengan seketika.
"Koq aku lagi sih? Kemarin aku juga yang bayar, kan", rengek Ara memelas.
"Kalau kamu bisa datang tepat waktu, gak bikin aku nunggu lama, peraturan masih bisa berlaku. Tapi nyatanya?" Keken berargumen tanpa menghiraukan ekspresi kesal di wajah Ara.
"Tapi..Ken…, jam kuliahku baru selesai tadi", jawab Ara membela diri.
"Iya. Tapi kamu yang janji datang kesini jam tujuh, kan", balas Keken. Ara hanya bisa mendesah kesal. Diajaknya pemuda itu untuk mulai makan.

Sambil makan, Keken sekali lagi menyempatkan matanya untuk melirik ke arah kaca etalase. Pemuda berpakaian stelan berwarna serba hitam itu sudah tidak ada di mejanya. Pasti dia takut melihat kedatangan kingkong satu ini, Keken membatin. Meskipun tidak kekar, tapi Ara memang berpostur cukup tinggi besar untuk ukuran orang-orang sini. Dengan rambut ikal yang agak gondrong dan cara berpakaian yang tidak pernah terlihat rapi, pemuda itu lebih mirip seperti preman. Tapi nyalinya tidak setinggi besar posturnya. Itulah sebabnya Keken menjadi sangat bisa mengendalikan Ara. Mereka berdua berteman sejak dua tahun yang lalu. Ketika sama-sama mulai kuliah di kampus yang sama dan kebetulan rumah kontrakan Keken bersebelahan dengan rumah orang tua Ara.

"Makanan yang aku pesan enak, kan. Sekarang kita harus cepat pulang. Sebentar lagi turun hujan", kata Keken pada Ara.
Ara mengangguk-anggukkan kepala sambil melap mulutnya dengan tissue.
"Sekarang pada bagian yang gak enaknya", jawab Ara, lalu berdiri dan melangkah menuju kasir. Keken tersenyum menang.

Selang beberapa saat kemudian mereka berdua sudah keluar dari rumah makan itu. Saat sudah berada di luar, tiba-tiba Keken seperti merasakan sesuatu dan membuatnya menolehkan kepala ke kanan. Dua puluh meter dari tempat mereka berdiri, Keken melihat pemudah berpakaian stelan berwarna serba hitam yang tadi ada didalam restoran itu sedang berdiri sambil memandangi mereka berdua. Aneh..., pemuda itu tidak tampak terkejut seperti layaknya orang yang kepergok sedang mengamati orang lain. Dia hanya menyunggingkan senyum kecil, membalikkan badannya, lalu berjalan pergi.

Dan detik itu juga butir-butir kecil air berjatuhan dari langit. Hujan mulai turun rintik-rintik. Ini membuat Keken dan Ara serentak berlari-lari kecil menuju sebuah jembatan. Beberapa meter di seberang jembatan itu rumah-rumah mereka berdua berada.

Saat hampir berada di tengah jembatan hujan menjadi turun lebih deras, bukan rintik-rintik lagi. Tanpa dikomando, Keken dan Ara berlari lebih kencang diatas trotoar jembatan itu. Tiba-tiba petir menyambar diatas langit. Meskipun sangat jauh tinggi di awan, tapi suara petir yang menggelegar itu sempat membuat Ara sangat terkejut. Sudah cukup membuat langkah larinya menjadi tidak terkontrol. Saat kaki kanannya menjejak keluar dari badan trotoar, pemuda berbadan tinggi besar itupun langsung terguling-guling ke tengah jalan.

Keken tercekat dan memekik tertahan melihat yang terjadi pada Ara. Terlebih saat dilihatnya sebuah mobil truk melaju dari ujung jembatan. Entah mendapat tenaga dari mana, Keken berlari cepat kearah Ara yang sudah duduk tapi menjadi linglung saat menyadari dirinya sedang berada di tengah jalan jembatan. Detik berikutnya Ara merasakan Keken mengangkat tubuh besarnya sebentar kemudian melemparkannya ke arah trotoar jembatan. Ini membuat tubuhnya terjajar pada pagar jembatan. Hempasan tubuhnya di trotoar hampir membuatnya pingsan dan pandangannya agak berkunang. Tapi ia masih berusaha melihat Keken.

Dengan pandangan yang tak berkedip, Ara melihat Keken berusaha cepat melompat menghindari mobil truk itu. Suara mendecit keras dari roda yang bergesekan dengan aspal menandakan pengemudi mobil truk itu sedang berusaha mati-matian menginjak rem bisnya dalam-dalam. Tapi itu sudah sangat terlambat. Terdengar benturan keras saat tubuh Keken tersambar bagian sudut kanan depan truk....

Ara memandang ngeri pada tubuh Keken yang terlempar keras hingga keluar pagar jembatan. Lalu terdengar suara tubuh gadis itu tercebur ke sungai.

Meski sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, Ara memaksa bangkit dan berlari ke arah sisi jembatan tempat Keken terlempar tadi. Dengan pandangan nanar ia memandang ke bawah jembatan. Riak-riak air yang melingkar masih jelas terlihat di permukaan sungai tempat tubuh Keken jatuh tercebur.....

Bersambung ke episode: Halusinasi Ara

Minggu, 24 November 2013

: Posted on Minggu, 24 November 2013 - 03.42 with No comments

Fender Stratocaster Dan Segelas Kopi Hangat. Cerpen (Cerita Pendek). Orang ganteng yang menyusun cerpen ini tidak bermaksud untuk bercerita tentang bisnisnya menjual gitar listrik merk Fender Stratocaster atau tentang mengelola warung kopi atau Coffee Cafe. Ini kisah tentang perpisahan yang diakhiri dengan pertemuan kembali yang tak terduga. Cerita pendek ini punya happy ending. Seperti tercantum pada kalimat akhir, Hidup ini tidak pernah berbasa-basi saat memberikan kejutan.
Kereta Api. Johan Suryantoro
Fender Stratocaster Dan Segelas Kopi Hangat
Oleh: Johan Suryantoro

Kereta api yang membawaku masih terus melaju. Rasanya perjalanan malam ini menjadi sangat lama. Sambil menatap kosong keluar jendela aku minum pelan-pelan kopinya. Ini kopi yang pertama kali aku minum setelah hampir lima tahun. Ya, sudah hampir lima tahun aku menjauhi minuman ini. Bukan karena nasehat dokter, tapi ini caraku untuk melupakan masa lalu. Memang kekanak-kanakan, tapi ini jadi cara yang berhasil meskipun tidak seluruhnya. Tapi malam ini aku kembali membutuhkan segelas kopi. Meskipun satu gelas plastik kopi yang aku beli di kantin stasiun. Bukan expresso di starbucks atau coffee bean. Bukan juga segelas besar kopi buatannya pada setiap malam sebelum lima tahun yang lalu. Lima tahun dan dia. Begitu cepat berlalu. Tidak seperti deru kereta api ini. Deru yang membawaku ke tempat lima tahun lalu.

===========

Aku masih ingat ketika dia berjingkrak senang lalu bergantian memeluk orang-orang yang sedang berada di sekitarnya saat aku menerimanya sebagai gitaris pada band yang tiap malam main di pub milik temanku itu. Gadis itu mengisi posisi Andri yang memutuskan untuk menerima tawaran sebagai penyiar pada sebuah stasiun radio swasta di kotanya. Sebelumnya kami tidak begitu yakin gadis itu bisa menggantikan Andri. Tapi, pada malam pertama dia benar-benar bermain bagus, nyaris sempurna. Dia seperti begitu menyatu dengan fender stratocaster-nya, gitar keluaran tahun 1971. Aku heran, dari mana dia mendapatkan gitar seperti itu. "Salah satu koleksi milik ayah", katanya di kemudian hari.

Setelah tiga malam berlalu, kami dikejutkan dengan gaya permainan gitarnya di malam keempat. Nada-nada yang begitu ekspresif mendominasi pada bagian interlude. Melengking dan meliuk, lalu menukik pada nada-nada rendah. Seperti terbang melesat diantara awan lalu merayap dan mendaki di sela-sela lembah pegunungan. Ruangan pub menjadi seperti padang rumput. Ini membuat beberapa pengunjung pub tidak memalingkan pandangannya ke arah stage. Tepukan tangan yang riuh dari pengunjung selalu mewarnai di akhir lagu. Tanpa sadar aku pun ikut memberikan applaus. Malam itu pun aku segera menyadari, ini karakter permainan gitarnya yang asli.

"Biasa aja.", katanya saat aku bilang para pengunjung kagum pada permainan gitarnya. "Permainan keyboard-mu juga bagus. Pasti mereka sudah lama mengagumi itu", sahutnya lagi.
Terserah dia, yang penting gadis itu sudah menyelamatkan permainan kami.

Malam-malam selanjutnya kami sering terlibat dalam obrolan di sela istirahat atau saat pulang dari pub. Dari ceritanya, aku tahu dia tinggal di rumah keluarga kakaknya yang tidak jauh dari lokasi pub. Orang tuanya tinggal di kota lain. Dan setiap malam dia membuatkan satu gelas kopi untukku. Satu gelas besar. Dia tahu aku suka dengan minuman itu. Supaya bisa lebih fokus pada lagu dan tidak salah menekan tuts keyboard, candanya setiap meletakkan gelas kopi itu pada meja kecil di belakang keyboard. Aku terkekeh mendengar gurauannya itu.

Selama beberapa bulan kami berdua tetap menghibur para pengunjung yang mendatangi pub itu. Bahkan saat teman-teman yang lain mulai berhenti satu per satu. Bambang dan Tatang secara berurutan harus kembali pulang ke kotanya masing-masing setelah mereka menyelesaikan kuliahnya. Sebulan kemudian Ira, vokalis kami, yang cabut karena harus pindah kuliah mengikuti ayahnya yang juga pindah tugas ke tempat lain. Semua meninggalkan posisinya, tinggal aku dan dia. Hingga akhirnya gadis itu selama tiga malam berturut-turut tidak menampakkan batang hidungnya.

"Tiga hari yang lalu ibu memanggil kami pulang. Ayah sakit keras. Levernya kambuh lagi. Beliau tidak bisa tertolong. Dia diminta tinggal untuk melanjutkan usaha ayah mengelola toko peralatan musik itu. Dia minta maaf tidak sempat pamit padamu dan menyesal tidak bisa menemani bermain musik lagi di pub. Dia pun terpaksa menghentikan kuliahnya", mas Anton, kakak gadis itu menjawab pertanyaanku. "Ada titipan surat dari dia untuk kamu".

"Hidup ini seperti sebuah gitar. Seperti fender stratocaster-ku itu. Kadang diam, kadang bernada. Saat bernada pun, tidak selalu mendentingkan nada-nada riang, tapi sering juga menyuarakan lengkingan kesedihan dari lembah yang sangat dalam. Tapi gitar itu harus selalu dimainkan. Dari hari ke hari hingga nada-nada itu menyatu. Suatu hari nanti, kita akan punya waktu lagi untuk sebuah jam session." Lalu torehan tanggal dan tanda tangannya.

Setelah itu, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Juga kabar teman-teman yang lain. Aku sendirian, dan yang lain sudah berlari mengejar tujuannya. Pada bulan kedua, aku pun tidak tahan lagi dan memutuskan untuk menerima tawaran kakakku. Jadi sound enginer di studio rekaman yang beberapa bulan lalu sudah dibelinya. Lalu mengaransemen beberapa lagu yang direkam di studio itu, bikin lagu untuk beberapa vokalis. Dan aku menjadi larut dalam kesibukan itu. Terlupa pada hari-hari yang pernah aku lalui di pub milik temanku itu. Tapi tidak pada dia. Entah kenapa. Hingga lima tahun kemudian.

===========

Pub ini tidak banyak berubah. Pemiliknya juga tidak. Temanku itu masih sering tidak berada di tempatnya. Aku pun tidak tahu mau menemui siapa di tempat itu. Mungkin sekedar keinginan menghirup atmosfir masa lalu. Stage itu pun tidak berubah sama sekali. Tapi tunggu, itu seperti memang tidak berubah sama sekali. Gitar fender stratocaster yang berdiri pada sandarannya itu. Aku kenal gitar itu. Mengapa ada disana? Dan aku segera menemukan jawabannya ketika hidungku mencium aroma kopi yang sangat aku kenal, terasa begitu dekat. Saat aku menoleh, satu gelas kopi dengan kepulan uapnya sudah berada di mejaku.

"Sudah dari kemarin kami menunggu kamu", suaranya itu seharusnya membuat aku terkejut. Di belakangnya sudah berdiri Bambang, Ira, dan Tatang. Mereka pun berhamburan memelukku. Sudah lima tahun. Dan terakhir, dia memelukku lama.

"Kenapa tidak memberi tahu aku?", tanyaku padanya yang masih memelukku.
"Aku takut jatuh cinta padamu", dia mulai menggoda.
"Aku juga".
"Masa’?", lalu gadis itu tersenyum, "sini, aku kasih tahu". Aku mendekatkan telinga ke mulutnya.
"Aku sudah mainkan semua nada dengan gitarku. Dan aku sudah tahu dengan siapa aku harus memainkan nada-nada itu".

Aku memandangnya dengan tatapan lucu, "Dan kamu pasti sudah tahu juga, untuk siapa kamu harus membuatkan segelas kopi setiap hari". Gadis itu tertawa, dan memelukku makin erat. Aku tahu, setiap hari aku akan mendapatkan pelukan itu. Dan tentu saja, segelas kopi yang selalu hangat.

Hidup ini tidak pernah berbasa-basi saat memberikan kejutan.

: Posted on - 03.23 with No comments

Orang-orang Di Persimpangan. Tema sebuah cerpen atau cerita pendek bisa bisa berupa apa saja. Bisa diambil dari kisah keseharian yang sederhana dan mudah dicerna. Bisa juga ditumpangi pesan-pesan falsafah yang rumit dan njelimet. Cerpen atau cerita pendek yang disajikan pada posting ini adalah tentang dampak pemilu bagi rakyat kecil. Para tukang becak yang bersahaja diambil sebagai contoh wakil dari para rakyat kecil.
Persimpangan. Johan Suryantoro
Orang-orang Di Persimpangan
Oleh: Johan Suryantoro

Suara tertawa itu makin terdengar riuh. Padahal pengunjung warung itu hanya 4 orang. Lalu terdengar lagi suara ketawa cekaka'an itu. Sekarang sudah jam 1 siang lebih 7 menit. Orang sudah selesai makan siang. Memang waktu yang pas untuk tertawa cekaka'an. Perut sudah kenyang, hati jadi senang. Ya sudah, tertawa saja. Apa pun bisa dijadikan alasan untuk tertawa. Dari tingkah mbah Kamiso yang sering bersin-bersin sampai kelakuan pak lurah yang bingung menghitung BLT. Dari kesibukan para pejabat mencari peluang untuk mengantongi uang proyek sampai cerita tentang para caleg yang kalang-kabut menyusun konsep pidato untuk kampanye nanti. Tentang para manager yang pusing cari alasan untuk mengegolkan rencana efisiensi sampai ulah para karyawan yang berebut posisi puncak. Wis, pokok’e buanyak mbanget yang bisa ditertawakan.

Pak Wajimo kembali memesan segelas kopi. Ini gelas kopi kedua yang sudah dipesannya sejak selesai makan siang tadi. Laki-laki paruh baya ini memang terkenal hobby minum kopi. Penggemar berat kopi. Kopi untuk dia harus kental dan tidak terlalu manis. Minumnya sambil menghisap rokok lintingan tembakau strongking. Bul..bul...bul…, kayak sepur.

"Iya lho, ini betul. Kalau ndak menghasilkan uang, ya ndak usah dikerjakan. Kalau pun ndak menghasilkan uang, paling ndak bisa menghasilkan pahala. Kalau kedua hal itu ndak bisa didapat, ya tidur aja", itu suara pak Wajimo. Lalu mulutnya menghembuskan kepulan asap rokok.

3 orang temannya tampak mantuk-mantuk mengiyakan. Memang pak Wajimo itu yang paling tua diantara mereka. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu yang paling didengar oleh yang lain. Yang paling senior, kata mbok Darni yang warungnya hampir tiap hari menjadi tempat nongkrong 4 sekawan itu. Mereka berempat berprofesi sebagai tukang becak. Mangkalnya di perempatan tempat warungnya mbok Darmi. Wis.., memang pas mbanget.

=======

Hari ke-23

Setting : warungnya mbok Darmi. Setelah makan siang.

"Kang...", pak Pardi seperti mau menanyakan sesuatu pada pak Wajimo. Pak Pardi ini umurnya lebih muda 8 tahun dari pak Wajimo.

"Kamu mau tanya apa, Di? Mumpung sekarang sudah waktunya sesi tanya jawab. Silahkan tanya apa saja. Tapi kalau yang menyangkut soal hukum, biar pengacaraku saja yang njawab", pak Wajimo menyahut sekenanya.

"Walah...sampeyan ini, kayak selebritis aja. Begini kang, sebentar lagi kan mau ada pemilu. Kang Jimo mau nyoblos siapa?", biarpun pertanyaannya ndak serius, tapi pak Pardi tetap aja pasang muka serius.

"Paling kang Jimo nyoblos yang di rumah", tiba-tiba terdengar suara mbok Darmi menjawab. Tanpa dikomando, langsung terdengar suara tertawa cekaka'an di warung itu. Mungkin memang sudah waktunya warung itu diberi nama Warung Cekaka'an.

Pak Wajimo memberi isyarat pada teman-temannya untuk meredakan suara tawa mereka.

"Ini pertanyaan bagus dan pantas dijawab dengan jawaban terbaik. Aku mau milih atau nyoblos siapa, sebetulnya ndak ada yang boleh tahu. Wong azas pemilu itu kan langsung, umum, bebas dan rahasia. Iya ndak?". Teman-teman pak Wajimo serentak mantuk-mantuk. Entah karena mengerti, entah gara-gara ngantuk.

"Tapi kalau tetap ada yang tanya nanti aku milih siapa, jawabannya ndak ada yang aku pilih".
"Berarti sampeyan golput, kang", pak Kasmo yang biasanya cuma mesam-mesem secara reflek bersuara mendengar pernyataan pak Wajimo itu.

"Lha...siapa yang mau dipilih kalau memang ndak ada yang pantas untuk dipilih. Dari dulu sampai sekarang, sudah bolak-balik ganti pimpinan, aku tetap aja mbecak sampai bosan. Sudah ikut keliling kota untuk kampanye. Ceritanya jadi tim sukses lah. Supaya mereka menang. Tapi ya tetap aja begini. Pemilu sekarang ini sudah mirip dagelan. Pokok'e, pemilu sekarang ini, preeet, bukan untuk rakyat, tapi untuk keparat. Gara-gara ndak ikut milih, aku ndak mau dituduh golput. Wong kulitku ireng gini. Tapi manis kan", pak Wajimo menjelaskan sambil mengangkat-angkat alisnya. Membuat teman-temannya yang semula serius mendengarkan, jadi serentak memonyongkan mulutnya. Kini giliran pak Wajimo yang ketawa cekaka'an.

======

Hari ke-24

Warung mbok Darmi sudah tidak ada lagi di perempatan itu. Tadi pagi sudah digusur Satpol PP. Becak-becak juga sekarang tidak boleh mangkal di perempatan itu lagi. Katanya mengganggu pemandangan kota. Tidak tahu, suara tawa cekaka'an itu sekarang pindah kemana lagi. Yah..., begitulah kehidupan. Apa yang tidak disuka, rasanya harus disingkirkan.

: Posted on - 02.38 with No comments

Lapangan Terbang Di Tengah Sawah. Cerpen atau cerita pendek ini berfokus pada cerita seorang anak serta ibu dan kakeknya yang tinggal di sebuah desa. Kisah pendek ini banyak bercerita tentang keluguan orang-orang desa yang kerap dimanfaatkan oleh orang-orang dari kota yang sering merasa telah datang dari tempat yang beradab. Seorang perempuan dan anaknya terpaksa harus menerima kegetiran dari penantian yang tak berkesudahan.
Pesawat terbang. Johan Suryantoro
Lapangan Terbang Di Tengah Sawah
Oleh: Johan Suryantoro

"Mbah, orang kalau sekolah itu waktunya lama ya?", si kecil Darno bertanya pada bapak tua yang tampak sibuk membetulkan gagang cangkul. Sepertinya tidak terpengaruh dengan pertanyaan cucunya itu. Orang yang dipanggil "mbah" itu masih mengamati cangkul yang sepertinya sudah selesai diperbaikinya.

Darno menggeser duduknya lebih dekat pada si mbah. Dipandanginya wajah tua itu penuh harap, dia masih menunggu jawaban untuk pertanyaannya tadi. Setelah meletakkan cangkulnya, si mbah mulai menoleh pada Darno. "Yang namanya sekolah itu, ya biasanya lama. Apa kamu sudah ndak sabar lagi, mau cepat-cepat lulus. Setelah lulus dari sekolahmu itu", si mbah menunjuk satu arah, mungkin arah letak sekolah dasarnyanya si Darno, "kamu masih harus ngelanjutkan lagi ke SMP."

Si mbah mulai mengisap rokok kretek yang baru disulutnya tadi. Lalu terdengar suara batuk-batuk kecil. Darno menepuk-nepuk pelan punggung mbahnya. "Bukan aku, mbah".
"Kalau bukan kamu, lalu siapa yang harus cepat lulus sekolah?", si mbah kini balik bertanya.
"Pak’e. Koq pak’e sekolahnya lama sekali ya mbah? Memangnya sekolah pilot itu lama ya mbah? Emak bilang memang lama."

Si mbah terbatuk agak kuat, sepertinya agak tersedak. Darno kembali menekan-nekan punggung tua itu.
"Oalah Karti! Ceritamu itu malah jadi bahan pertanyaan untuk anakmu itu. Kenapa ndak bilang saja sama si Darno kalau bapaknya sudah mati. Kita bakal tambah bingung dengan pertanyaan-pertanyaannya yang ndak akan berhenti. Orang yang kamu tunggu-tunggu itu ndak bakal datang lagi. Dia pasti takut ta’kepruk ndhase", si mbah mendesah dalam hati.

"Nah…itu, teman-temanmu sudah ngajak kamu mandi. Sana ambil handuk sama sabunmu. Nanti keburu gelap", si mbah menunjuk 2 orang anak kecil yang melambai-lambai pada Darno.

Meski pun masih belum puas karena mbahnya tidak memjawab pertanyaannya tadi, Darno segera masuk kedalam rumah dan meminta teman-temannya itu menunggu sebentar. Sementara si mbah kembali melanjutkan menikmati asap rokoknya. Tapi pandangannya jadi tertuju kearah lapangan terbang kecil yang terletak agak jauh dari rumah mereka. Setiap hari orang tua itu terpaksa memandang lapangan terbang itu dengan perasaan sesal. Setiap dia keluar dari pintu rumah, pandangannya langsung tertuju kesana. Dan itu selalu terjadi sejak lama. Sepanjang umur Darno yang 2 bulan lagi akan menginjak 8 tahun itu.

------------------

Dulu pohon jambu klutuk ini masih kecil waktu Darno baru lahir, tapi sekarang tingginya sudah melebihi bubungan rumah mereka. Darno kecil sering mencoba untuk memanjatnya. Tingkahnya itu bikin emaknya jadi kalang-kabut. Berteriak-teriak dari jendela dapur untuk menyuruhnya turun dari pohon jambu klutuk.

Tapi sekarang Darno malah sedang asyik nongkrong pada dahan yang agak tinggi di pohon jambu klutuk itu. Dari sini Darno bisa lebih leluasa memandang lapangan terbang yang berada di sebelah selatan itu. Biasanya Darno cuma bisa mendengar suara mesin pesawat terbang lalu tidak lama dia melihat burung besi itu meloncat terbang ke langit. Atau pesawat yang datang entah dari mana dan saat mendarat tidak dapat Darno lihat lagi. Pandangannya terhalang alang-alang tinggi yang banyak tumbuh di sekitar lapangan terbang. Teman-temannya bilang alang-alang itu memang sengaja ditanam.

Karena begitu seringnya memperhatikan pesawat-pesawat terbang yang datang dan pergi di lapangan terbang itu Darno jadi hapal jadwalnya. Kapan pesawat akan tinggal landas dan kapan pesawat yang akan mendarat, Darno sudah tahu jamnya. Si kecil itu sering bertanya-tanya dalam hati, apa salah satu dari pesawat-pesawat terbang itu dikemudikan oleh bapaknya. "Tapi ndak mungkin. Pak’e masih sekolah pilot di tempat yang lain koq. Pak’e mungkin ndak berani bawa pesawatnya ke lapangan terbang itu. Nanti pak’e bisa dimarahi gurunya".

Darno merasa mbah dan emaknya masih lama pulang ke rumah. Tadi pagi sebelum Darno berangkat sekolah, emak bilang mau menemani mbah panen kacang panjang di kebun mereka. Terus sekalian mau dijual di pasar. Mbah juga mau beli pupuk untuk tanaman lombok di belakang rumah. Berarti masih aman. Masih bisa nongkrong di dahan pohon jambu klutuk ini. Masih bisa memandang beberapa pesawat di kejauhan sana. Semua warnanya putih. Ada yang bergaris merah, ada juga yang biru.

Darno punya foto sebuah pesawat. Dia dapat dari koran bekas yang ditemukannya di sekolah. Emak bilang, itu pesawat jet tempur. Pesawat yang dipakai orang untuk berperang. "Sekarang pak’e sedang belajar nyetir pesawat seperti itu", emaknya menambahkan lagi.

"Itu pesawat terbang yang bagus", pikir Darno, "aku kepingin pak’e ngajak aku naik pesawatnya itu. Tapi pak’e masih belum pulang juga. Masih lama". Darno sering berlama-lama memandangi foto pesawat jet tempur itu. Dia suka membayangkan, pak’e sedang mengajarinya terbang dengan jet tempurnya. Hingga suatu hari Darno yang dibantu dengan mbahnya, berhasil membuat pesawat terbang mainan dari kardus. Kerangkanya dari bilah bambu dan bagian-bagiannya disatukan dengan jahitan tali rapia. Ukurannya lumayan besar hingga Darno pun bisa masuk kedalam badan pesawat mainannya itu. Bentuknya mirip dengan pesawat jet tempur dalam foto.

"Darno, turu le…!!", tiba-tiba terdengar teriakan emaknya dari kejauhan. "Waduh.., emak pulang", Darno segera turun pelan-pelan dari dahan pohon jambu klutuk. Begitu sampai di tanah, emak langsung menjewer telinganya. Tidak sakit. Tapi Darno tahu sekarang emaknya pasti sedang marah. Sedangkan mbah cuma melihat ke arah mereka berdua sebentar, lalu segera masuk kedalam rumah.

"Kamu ngapain manjat-manjat, sekarang kan belum waktunya berbuah? Kalau kamu sampai jatuh, bagaimana?", Emak menggerutu. Tapi dengan nada khawatir.

"Cuma mau lihat pesawat terbang koq mak.", Darno menjawab jujur. "Siapa tahu pak’e sudah jadi pilot pesawat yang ada disana. Kita bisa nyuruh pak’e cepat kesini".

Karti terdiam, dan memandang sedih pada anaknya. Tapi dia harus terlihat sedang marah.

"Sana, masuk. Itu tadi mbahmu bawa gethuk dari pasar", Karti menyuruh Darno segera masuk kedalam rumah.

Setelah Darno masuk, Karti sempat melihat sebuah pesawat terbang yang tinggal landas. Sebuah pesawat dengan baling-baling, bukan jet. Pandangannya mengikuti pesawat itu hingga menghilang di kejauhan.

"Mas Trisno, anakmu mulai sering nanyakan kamu. Ini sudah berapa tahun, apa mas ndak kangen sama Darno? Kamu boleh bohongi aku, tapi jangan pada anak kita. Kamu boleh nyuruh aku menunggu sampai kapan pun, tapi jangan si Darno kamu bikin jadi ikut menunggu juga", Karti berkata pelan. Entah pada siapa.

Hampir 8 tahun yang lalu Karti pernah merasa hidupnya begitu sempurna. Menjadi istri salah seorang pegawai perusahaan yang mengerjakan proyek pembangunan lapangan terbang itu sama sekali tidak pernah Karti bayangkan. Di desa yang tidak mengenal hiruk-pikuk kota, itu jadi status yang benar-benar membuat bangga keluarganya. 2 orang kakak laki-lakinya, bapaknya, almarhum emaknya, semua menyarankan Karti menerima ajakan Trisno untuk menikah.

Karti memang tumbuh menjadi gadis yang cantik di desanya. Dalam kebersehajaannya, kehadiran Karti dapat menggetarkan hati laki-laki saat pertama kali melihatnya. Termasuk Trisno. Pertemuannya dengan Trisno diawali saat Karti menemani emak menjajakan ketan kincau sarapan pagi di areal mess pegawai perusahaan yang menangani proyek pembangunan lapangan terbang perintis itu. Dan pada hari-hari berikutnya hampir setiap pagi mereka bertemu. Hingga akhirnya Trisno sering datang ke rumah mereka.

Pak Karto, bapaknya Karti, semula memandang curiga dengan kunjungan Trisno. Tapi melihat sikap sopan anak muda ini, kecurigaannya pun menjadi luntur. Kunjungan demi kunjungan Trisno ke rumah pak Karto pun menjadi semakin sering. Pak Karto selalu menyambutnya dengan hati yang berbunga-bunga. Setelah menemui dan bercakap-capak sebentar dengan Trisno, pak Karto pasti segera memanggil Karti dan menyuruh anak gadisnya itu untuk melanjutkan menemani Trisno.

Kehadiran demi kehadiran yang diberikan Trisno membuat hati Karti menjadi melambung. Kata-kata dari mulut Trisno benar-benar membuai angannya. Hingga suatu hari Trisno meminta ijin pada pak Karto, agar berkenan menjadikan Karti sebagai istrinya. Itu yang ditunggu-tunggu pak Karto. Menjadi mertua seorang pegawai perusahaan dari kota bisa mengangkat martabatnya di mata orang-orang desa. Hari itu juga pak Karto menyetujui lamaran Trisno. Tanpa meminta waktu lagi untuk mempertimbangkannya. Meskipun itu pernikahan siri.

"Ndak apa. Mungkin maksud Trisno akan membuat surat nikahnya nanti di kota. Disini dia masih banyak kerjaan. Sekarang masih belum sempat. Disini hampir semua orang begitu juga kalau menikah", bujuk mas Manto, salah seorang kakak Karti. Terlebih karena Trisno sudah membantu biaya perbaikan rumah mereka. Rumah yang dulu berdinding anyaman bambu itu sekarang sudah berubah jadi semi permanen. Bagian bawah berdinding tembok dan bagian atasnya berdinding papan. Beberapa perabotan baru juga sudah mengisi rumah itu. Semua pemberian dari Trisno.

Tapi itu cerita 8 tahun yang lalu. Trisno pergi meninggalkan Karti saat masih hamil 6 bulan. Trisno bilang dia harus segera mengurus surat penempatannya sebagai kepala perawatan lapangan terbang itu. Dia khawatir jabatan itu akan diambil oleh orang lain. Dia yang harus mendapatkan jabatan itu, agar Trisno dan Karti bisa tetap tinggal di desa itu. Karti benar-benar bahagia mendengarnya dan mengijinkan Trisno untuk pergi mengurus semuanya.

Setelah kepergian Trisno untuk mengurus surat penempatannya, kisah penantian ini pun segera dimulai. Sebulan, dua bulan, hingga Darno lahir, Trisno belum juga pulang. Tetangga yang kebetulan mampir ke rumah sering menanyakan keberadaan Trisno pada Karti. "Koq ndak pernah kelihatan di rumah", itu kalimat yang sering mampir di telinganya. Dan Karti hanya menjawab ringan, "Mas Trisno sedang tugas belajar keluar daerah". Kebohongan yang sama sekali terasa tidak menyenangkan. Kebohongan yang tidak akan pernah melenyapkan perasaan bingungnya.

Pak Karto sudah tidak sabar lagi dengan situasi ini. Dengan ditemani salah seorang kakak Karti, dia dating ke kantor lapangan terbang kecil itu, menanyakan tentang Trisno pada orang-orang disana. Tapi jawaban yang didapatnya malah membuatnya mengamuk di kantor mereka. Ini membuat pak Karto sempat ditahan selama 2 hari di Kantor Polisi.

"Mereka bilang, perusahaan tempat Trisno hanya bertugas membangun lapangan terbang itu. Kontrak kerjanya sudah selesai bulan kemarin. Dan Trisno tidak akan kembali lagi. Mereka juga tidak tahu dimana Trisno sekarang. Orang-orang di kantor itu sekarang dari perusahaan yang lain lagi", dengan terbata-bata pak Karto menceritakan pada Karti tentang keterangan yang sudah didapatnya dari orang-orang di kantor itu.

Bagi Karti, malam itu menjadi seperti dipenuhi cicitan ribuan kelelawar. Meskipun nalurinya sudah menyadari, tapi cerita dari bapaknya itu tetap saja membuatnya terkejut. Tersentak dan mulai memahami, apa yang dulu pernah dia dengan ternyata memang benar. Selalu ada laki-laki yang dating dari kota karena tugas dari perusahaan. Menetap beberapa bulan disuatu tempat untuk menyelesaikan suatu proyek. Bisa membeli apa saja ditempat itu dengan uangnya. Termasuk membeli kepercayaan dari orang-orang setempat. Dan sebagian kecil dari orang-orang yang sudah dibeli rasa percayanya itu, dia dan keluarganya.

Itu sudah 8 tahun berlalu. Tapi penderitaan yang ditanggungnya masih selalu menjadi beban. Ditambah lagi pertanyaan-pertanyaan dari Darno. Pertanyaan-pertanyaan yang sama. Tentang kapan bapaknya pulang. Tentang pesawat apa yang sedang dipelajari bapaknya untuk dikemudikan. Tentang apakah bapaknya akan mengajarinya mengendarai pesawat terbang juga.

Pernah Karti hampir pingsan saat tiba-tiba melihat anaknya itu sedang bersiap-siap meluncur dengan pesawat terbang kardusnya dari atas pohon jambu klutuk di depan rumah itu. Karti berteriak-teriak histeris meminta Darno segera turun. Para tetangga jadi berdatangan karena teriakannya itu. Darno jadi bingung melihat ulah emaknya dan kedatangan para tetangga. Setelah dibujuk-bujuk oleh beberapa orang tetangga, beruntung Darno mau membatalkan aksi itu.

Setelah Darno turun, segera Karti memeluk anaknya itu erat-erat. Seperti tidak ingin dilepaskannya. Ujung rambut Darno jadi basah karena tangisannya. "Ya Gusti, kenapa begini berat cobaan Kau berikan padaku", Karti mengeluh sedih. Dan pesawat terbang mainan buatan Darno itu segera habis dibakarnya.

------------------

"Pak, apa Darno sudah pergi ke pancuran?", Karti bertanya pada bapaknya, mbahnya si Darno.

"Bapak ndak melihat dia dari tadi. Masih gelap begini, masih dingin sekali, masa’ Darno sudah mau mandi pagi?", pak Karto balik bertanya heran. Jarum jam dinding itu memang masih menunjukkan jam 5 lebih sedikit.

"Tapi dia sudah bangun", Karti mulai bingung. Anak itu memang sering tidur dengan emaknya, kadang dengan mbahnya. Karti segera bergegas keluar rumah. "Aku mau lihat ke pancuran".

Tidak lama kemudian Karti sudah kembali ke rumah. Memeriksa setiap bagian rumah, kalau-kalau Darno sedang pindah tempat tidur seperti yang pernah beberapa kali dilakukannya. Tapi anak itu tetap tidak ditemukannya. Sementara hari sudah mulai terang.

"Tadi malam, sebelum dia tidur, Darno cerita pada bapak. Dia ingin sekali menjemput bapaknya. Darno mau naik pesawat terbang untuk menjemput bapaknya", pak Karto berucap pelan. Dilihatnya Karti makin gelisah. Memang aneh, sudah jam segini, kemana si Darno? Seharus dia sudah siap-siap untuk berangkat sekolah.

Di kejauhan sana, dari arah lapangan terbang itu, tampak sebuah pesawat jet berukuran sedang baru saja tinggal landas. Suara deru mesinnya terdengar jelas dari rumah itu. Berarti sekarang sudah jam 7 lebih. Tadi beberapa teman Darno sempat dating ke rumah. Seperti biasa, mereka sering bersama-sama pergi ke sekolah, Tapi yang mereka cari sudah tidak ada di rumah. Mereka juga menjawab tidak tahu saat Karti menanyakan apa mereka melihat Darno pagi itu. Karti juga sudah menanyakan tentang Darno pada beberapa orang yang dikenalnya yang kebetulan sedang lewat di depan rumah. Mereka juga tidak tahu.

"Darno kemana pak?", Karti mulai menangis sesenggukan. Pak Karto juga terlihat mulai bingung. Tiba-tiba dari depan rumah ada suara seseorang mengucapkan salam.

"Monggo pak Margo, silahkan masuk", sambil mengusap air matanya Karti mempersilah pak Margo, kepala Desa mereka itu untuk masuk kedalam rumah. "Monggo, duduk dulu pak. Saya bikin kopi dulu ya pak".

"Terima kasih, Karti. Ndak usah bikin kopi. Sini Karti, pak Karto, kita duduk sama-sama. Ada yang mau saya sampaikan", jawab pak Margo sambil mendahului duduk di kursi tamu rumah itu. Pak Karto dan Karti jadi saling berpandangan penuh tanda tanya.

"Tadi ada si Tarso tetatanggaku yang kerja di lapangan terbang itu datang ke rumah. Dia bilang waktu pesawat yang terbang jam 7 tadi, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang terjatuh dari roda pesawat waktu pesawat mau tinggal landas. Umurnya kira-kira baru 8 tahun. Mungkin anak itu sudah bersembunyi di ruang roda pesawat sejak tadi malam. Tarso bilang anak itu jatuh terguling-guling dan sempat terseret jauh. Sebagian tubuhnya hancur. Anak itu meninggal di tempat. Sekarang masih disemayamkan di ruang kantor lapangan terbang. Aku sempat dengar kamu sedang mencari-cari anakmu tadi pagi. Aku khawatir jangan-jangan……".

Selanjutnya Karti hanya sayup-sayup mendengar suara pak Margo. Pandangannya menjadi gelap dan makin gelap. Semua menjadi terasa begitu hening, dan tubuhnya mendadak terasa lemas hingga limbung dan jatuh ke lantai.....

: Posted on - 02.18 with No comments

Mbok Supiah Menyambut Tamu. Cerpen itu singkatan dari cerita pendek. Dalam cerita pendek ini dikisahkan tentang seorang ibu di daerah Jogjakarta yang sedang sibuk menyambut kedatangan anak tunggalnya yang bekerja di Jakarta. Si anak akan dating mengunjungi ibunya sambil mengajak seorang teman baiknya di Jakarta. Teman si anak ini sama sekali tidak paham dengan bahasa Jawa, sedangkan si ibu juga tidak bisa berbahasa Indonesia. Maklumlah, namanya juga wong ndeso.
Dapur. Johan Suryantoro
Mbok Supiah Menyambut Tamu
Oleh: Johan Suryantoro

Udara siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Sudah sebulan tidak turun hujan. Mungkin udara sak daerah Jogjakarta memang lagi seperti itu. Tapi orang-orang di Kalasan tetap dengan kegiatan rutinnya. Yang lagi ngantor, ya tetap aja ngantor. Soalnya kalau mbolos nanti malah dipecat. Yang mbecak, ya tetap cari penumpang. Yang lagi macul, ya terpaksa keringatnya lebih banyak mengucur. Mambune.

Tapi mbok Supiah tidak melakukan aktifitas rutin hari itu. Dia tidak mbatik seperti biasa dan pagi-pagi sudah pergi ke pasar. Padahal di sebelah rumah ada warungnya mbak Njanjilah yang jualan bumbu dapur, beberapa jenis sayuran, dan keperluan sehari-hari lainnya. Pasti ada apa-apanya ini, sampai-sampai mbok Supiah harus merasa perlu belanja ke pasar.

Selidik punya selidik, ternyata si Pardi, anak semata wayang kulitnya mbok Supiah yang kerja di Jakarta itu akan datang hari ini. Pardi bilang dia mengajak seorang temannya. Teman baik, bilangnya. Kemarin malam dia ngomong begitu pada simboknya melalui hp yang dipinjamkan oleh mbak Njanjilah. Malah si Pardi minta dibuatkan sayur bobor sebelum menutup percakapan.

Ini yang sudah lama ditunggu oleh mbok Supiah. Perempuan tengah baya yang sudah ditinggal suaminya ke alam baqa 6 tahun lalu ini akhirnya bisa punya kesempatan lagi membuat masakan untuk anaknya itu. Koq jadi mirip ibuku ya. Selalu ingin apa yang aku makan harus beliau yang masak. Lho..., koq aku jadi ikutan dalam cerita ini ya? Keluar lagi ah...

Akhirnya semua sudah siap. Masakan sederhana ala mbok Supiah. Sayurnya ada 2 macam, sayur bobor dan sayur lodeh, krupuk gendar, sambelnya ada 2 macam juga, sambel terasi dan sambel kecap asin. Nasinya dikukus pakai daun pandan. Semua bahannya harus dibeli di pasar. Itu peraturannya mbok Supiah. Bukan peraturanya pemda Sleman.

Saat sedang mengaru nasi, mbok Supiah mendengar orang mengucap salam di teras rumah. Wah.., iki pasti si Pardi karo kancane kuwi, batin simbok sambil bergegas ke ruang tamu.

"Lha.., tenan to., kuwi mau pasti suaramu. Wis ndang mlebu. Iku, kancamu diajak mlebu pisan. Diajak mangan. Mbok wis masak gawe awakmu", mbok Supiah bungah banget menyambut kedatatang anaknya. Maaf ya, teks terjemahannya belum dibuat. Bagi yang tidak paham bahasa jawa, dikira-kira aja deh artinya.

Pardi meminta temannya itu untuk makan lebih dulu, nanti dia nyusul. Pardi mau mengantar titipan obatnya pakde Mul dulu. Khawatir sudah ditunggu. Tanpa sempat disela lagi, Pardi sudah meluncur ke rumah pakde Mul. Tapi sudah agak jauh dari rumah dia baru ingat kalau mboknya itu tidak bisa bahasa Indonesia. Sedangkan si Anton, temannya itu, tidak paham bahasa jawa. Tahunya cuma inggih aja. Bisa terjadi misscomunication nih. Tapi aku cuma sebentar koq, batin Pardi sambil melanjutkan perjalanannya.

Sementara itu di rumah, mbok Supiah sudah membawa si Anton ke meja makan. Anton yang memang sudah lapar banget, langsung bersuka cita mirip orang menang lotere.

"Iki lho masak'ane mbok. Ndang dipangan, sedelok maneh si Pardi teko. Iki segone, iki krupuk, iki sambel terasi, iki sambel kecap, iki jangan, iki juga jangan", ucap mbok Supiah sambil menunjuk-nunjuk masakan yang sudah tersaji di meja makan. Anton cuma membalas dengan beringgah-inggih.

"Mangano disik yo. Mbok arep nyiapke kamarmu wong loro. Pasti kepingin leyeh-leyeh. Pegel-pegel mari numpak sepur sa'mono adohe", kata mbok Supiah pada Anton. Lalu segera menuju bekas kamarnya Pardi. Sepertinya simbok ndak memperhatikan perubahan raut wajah Anton.

Tidak lama kemudian Pardi sudah sampai ke rumah lagi dan segera menuju meja makan. Tapi dia menjadi heran melihat Anton makan sambil berkeringat. Wajahnya tampak memerah karena kepedasan. Lagi pula koq tumben Anton cuma makan pakai krupuk dan sambal. Padahal biasanya dia itu sebangsa mahluk herbivora. Penggemar sayuran.

"Koq ndak makan pakai sayur?", tanya Pardi masih keheranan.
"Kata ibumu sayurnya ndak boleh dimakan", jawab Anton sambil mangap-mangap dan segera mengambil air minum. Kepedasan.
"Masa' sih? Memangnya simbok bilang apa?", tanya Pardi tidak percaya.
"Ibumu bilang, iki jangan, iki jangan", jawab Anton sambil menunjuk sayur bobor dan sayur lodeh di depannya.

Pardi secara reflek menepuk jidatnya sendiri. "Dasar guoblok. Jangan itu artinya sayur, bukan ndak boleh dimakan. Iki jangan, iki jangan itu maksudnya ini sayur, ini sayur". Anton cuma bisa bengong mendengar penjelasan dari Pardi. Lupa pada rasa pedas yang tadi menghajar lidah dan mulutnya.

Sabtu, 23 November 2013

: Posted on Sabtu, 23 November 2013 - 06.08 with No comments

Cerita pendek (cerpen). Aku dan bintang-bintang malam. Ada banyak cerita tentang kehidupan malam yang bisa ditulis sebagai kisah. Salah seorang tokoh pada cerpen ini mencoba mengangkatnya pada cerpen kali ini. Pergulatan batin tentang salah dan benar, tentang pantas dan tidak, berkecamuk menjadi satu dalam karya cerita pendek ini.
Bangku Taman. Johan Suryantoro
Pukul 23.01. Kami berdua masih duduk pada bangku kayu di halaman rumahnya. Bangku kayu dengan sandaran lebar berposisi miring kebelakang. Orang bisa duduk sambil setengah berebah disitu. Beberapa menit obrolan kami terpotong. Secara tidak sengaja aku memandang rasi bintang pari di langit.

"Kamu lihat bintang itu?", tanyaku sambil menunjuk rasi bintang pari itu. Tanpa menoleh aku tahu kalau dia mengangguk. "Orang bilang itu bintang layang-layang. Malam ini bintang itu bisa dilihat dari daerah mana saja di Indonesia. Juga dari kampungmu. Mungkin ibumu melihat bintang itu juga sekarang. Sama seperti kamu". Dia mulai menoleh kearahku.

"Sepertinya ibumu berfikir mungkin sekarang anaknya sedang melihat bintang itu juga".
Dia masih diam dan kembali melihat keatas, ke rasi bintang pari itu.

"Bintang itu jauh, kata ibumu dalam hati. Jauh seperti anaknya yang sekarang ada disini. Ibumu tidak tahu sedang apa kamu disini, karena itu dia berfikir bahwa sekarang kamu sedang memandang bintang layang-layang itu. Pasti anakku sedang istirahat setelah pulang kerja sambil memandang bintang layang-layang. Duduk di bangku halaman seperti aku. Mungkin itu kata ibumu. Aku tidak tahu, apa dia memang bilang begitu. Nanti tanya saja sama ibumu kalau bertemu dia", aku terus saja bicara padanya tanpa menoleh.

Aku mulai mendengar dia menangis pelan. Dia mencoba menahan agar suara itu tidak keluar, tapi aku masih bisa mendengarnya. Dan selanjutnya aku sudah hapal apa yang harus aku dengar darinya. Meskipun berulang kali aku bilang tidak ada yang menyalahkannya. Karena aku tahu dia pun tidak suka menjadi seperti itu. Tidak seharusnya orang selalu menyalahkan masa lalu. Kata orang, untuk bisa memulai hari yang baru, orang harus bisa memaafkan dan melupakan masa lalunya.

Sebelum tengah malam, aku sudah meninggalkan rumah itu. Mudah-mudahan malam ini rumah itu bisa beristirahat. Aku sudah menunggunya hingga dia tertidur setelah lelah menangis.

Terkadang aku membutuhkan dunia yang lain sebagai tempat pencarian. Berhenti sebentar untuk tidak hanya mendengar obrolan dari mulut "gadis baik-baik" yang sibuk bercerita tentang keinginannya, cita-citanya, rencana masa depannya. Selalu tentang dirinya sendiri. Dunia ini adalah tentang dirinya. Tidak untuk dibagi. Tapi memang begitu, selalu ada dunia yang lain lagi.

Aku menoleh kebelakang, kearah rumah itu. Lampu kamar sudah dipadamkan. Aku bernafas lega. Malam ini dia bisa tidur nyenyak dan mimpi indah. Bukan tidur pagi atau tidur siang. Rumah itu pun bisa beristirahat malam ini. Besok malam rumah itu akan kembali pada kehidupannya. Entah sampai kapan. Bagi mereka, masa lalu akan selalu bergandengan tangan dengan hari ini. Masa lalu adalah alasan untuk melanjutkan cerita hari ini.

Begitulah kehidupan, aku menggumam sambil menggelengkan kepala. Terus berjalan membelah malam. Pulang ke duniaku.

=======================================
Cerita dari seorang teman di penghujung Juni 2006.

: Posted on - 04.14 with No comments

Cerita pendek, disingkat menjadi cerpen. Cerpen ini berkisah tentang keseharian seorang gadis yang bernama Kenia Asmi, dan sering dipanggil dengan nama Keken. Pada hari ini Keken terlambat bangun meskipun telah memasang alarm pada jam beker di kamar tidurnya. Rencananya, hari ini Keken akan mengirimkan sebuah paket melalui kantor pos. Kita ikuti kelanjutan dari cerpen ini.
Keken, Kotabumi, Lampung Utara. Johan Suryantoro
"Bunyi apaan sih itu?", Keken membatin sambil tetap pejamkan matanya. Koq bunyi terus? Pasti dari jam beker. Keken balikkan tubuhnya. Nah, betul kan. Dengan malas digapainya jam beker itu. Jam 09.30. "Ngapain sih aku nyetel jam segini?", membatin lagi. Setelah mematikan deringnya, lalu kedua mata itu terpejam lagi. Sementara gerak reflek tangannya mencari-cari selimut. Namun tangan itu tidak menemukan selimut yang dicari. Pasti sudah jatuh ke lantai.

Rasanya belum lama tertidur lagi, telinga Keken yang sedang malas mendengarkan apa-apa jadi terjaga saat sayup-sayup ada suara yang memanggil namanya. Rasanya suara itu dari balik pintu.

"Hooii...Ken, kamu masih hidup atau sudah mati..?!!".
Busyet, itu bertanya atau mengajak berkelahi. Sekarang kepala Keken sudah ada dibawah bantal. Mendadak dia ingin pindah ke puncak Himalaya saja. Supaya tidak ada yang mengganggu tidurnya lagi.

"Keken, buka pintunya dong. Cepetan. Mau ambil gitarku nih. Ada latihan folk hari ini. Bisa terlambat nanti!". Lalu ada ketukkan berulang-ulang pada pintu. Diketuk atau digedor ya? Suaranya keras sekali. Cukup untuk membuat Keken jadi terloncat dari tempat tidur.

Saat membuka pintu, terlihat Anis berdiri sambil merengut. Langsung menerobos masuk. Ambil gitar yang tersandar di samping lemari. Lalu memandangi Keken yang masih mengucek-ucek mata.

"Tadi malam sampai jam berapa chatting sama si ceking? Ini sudah hampir jam 10. Katanya mau ngantar paket ke kantor pos", Anis mulai ngomel.

"Kantor pos? Ya ampun! Pantas aja jam beker itu teriak-teriak", Keken langsung ambil handuk dan perlengkapan mandinya. Langsung terbang ke kamar mandi.

"Dasar cewek geblek". Sambil geleng-geleng kepala Anis segera meninggalkan kamar yang selalu berantakan itu.

======

"Tong, cepat jemput aku. Udah siap nih", seperti biasa, Keken suka memberikan instruksi pada pacarnya itu melalui ponsel. "Aku udah siap dari tadi. Sampai bosan nunggu kamu!". Lho.., itu teriakan si ceking. Rasanya suara itu dari ruang tamu, bukan dari ponsel.

Dengan terburu-buru Keken mengambil paket yang sudah disiapkannya kemarin malam dan segera berlari ke ruang tamu. Disitu memang sudah ada si Otong yang lagi nonton tv sambil cemberut.

"Yuk, kita berangkat", ajak Keken sambil berusaha tersenyum semanis mungkin. Harap-harap si Otong menghilangkan cemberut dari wajahnya.

"Suguhin air kopi dulu kek. Apa kek. Main berangkat aja". Waduh, si ceking ini mulai merajuk deh.
"Tapi nanti kantor posnya keburu pindah. Pulang dari kantor pos, aku buatin bubur kacang ijo deh", Keken membujuk sambil menarik tangan Otong.

Otong bangkit dengan malas. "Gara-gara nunggu kamu, aku sampai terpaksa minum jamu beras kencurnya bulek langgananmu itu", Otong menggerutu.

"Koq aku gak dibangunin? Hari ini jadwalku minum jamu", Keken protes.
"Besok aku belikan jamu beras kencur satu ember untuk kamu", balas Otong sambil mendahului keluar halaman. Masih menggerutu. Keken jadi tertawa geli. Lalu mengikuti langkah Otong. Tiba-tiba Keken berhenti.

"Mahluk apa ini?", tanya Keken sambil memandangi vw kodok yang sedang diparkir di depan rumah kosnya itu. Dilihatnya Otong sudah duduk dibelakang setir. Si Ceking nemu mobil tua ini dimana ya. Masa' tukar tambah dengan sepeda motornya itu?

"Sudah 2 hari aku tidur di rumah om Agus, tetanggaku itu. Dia dan keluarga lagi berangkat ke Bekasi. Adiknya yang tinggal disana lagi melahirkan anak pertamanya. Aku dititipin rumah, juga mobil ini. Ya aku pakai aja. Lumayan, gak kehujanan", Otong menjelaskan saat mereka sudah dalam perjalanan menuju kantor pos. Keken memperhatikan semua bagian dalam mobil itu. Lumayan terawat dan bersih meskipun tetap berkesan mobil jaman perang. Bentuk joknya, benar-benar mirip mobil-mobil dalam filmnya Dick Tracy. Dulu bapaknya juga pernah punya mobil seperti ini waktu mereka masih tinggal di Semarang.

Beberapa menit kemudian mereka melewati pasar burung. .

"Gak usah mampir. Nanti aja kita beli kambing di pasar dekat kantor pos itu", ujar Otong saat melirik Keken yang sedang memperhatikan tumpukan sangkar burung di pinggir jalan. .

"Kalau cuma burung, aku juga punya" ujarnya lagi. Membuat Keken melotot sebagai tanda tidak menyukai yang baru saja dikatakan Otong. Otong jadi tertawa terbahak.

Beberapa meter dari kantor pos, kalau tidak salah ukur, ada 100 meter..., gruk..gruk.., vw kodok itu tiba-tiba tersendat-sendat jalannya. Lalu mendadak mesinnya mati. Nah lo, kenapa nih? Otong dan Keken jadi saling berpandangan. Bukan pandangan mesra, tapi pandangan bingung. Otong mencoba menghidupkan mesin mobil itu. Beberapa kali dia mainkan kunci kontak. Terdengar deruman tertahan, lalu bsss..., mesinnya mati lagi. Coba lagi, malah gak ada reaksi sama sekali. Berarti mogok total.

"Koq om Agus gak pernah bilang kalau mobilnya ini bisa mogok", Otong bergumam sambil keluar dari mobil. Gak pakai lama, dia sudah membuka kap depan. Tapi kemudian terlihat Otong celingak-celinguk melihat pada arah jalan di belakang mobil. Keken jadi heran lalu ikut keluar dan ikut juga melihat kearah jalanan itu. Gak ada apa-apa. Si Ceking ngelihat apaan sih? Keken jadi memandang heran pada pacarnya itu. Terlihat Otong sedang mencari-cari sesuatu.

“Kamu ngelihat apa sih di belakang sana?”, tanya Keken sambil menunjuk pada jalan di belakang vw kodok yang lagi mogok itu.
“Mesinnya jatuh dimana ya? Pantas mobilnya gak mau jalan”, sahut Otong masih terlihat bingung.
Keken jadi terhenyak diam. Masa’ mesinnya bisa jatuh? Dia jadi ikutan ngelihat kedalam kap depan mobil. Yang ada cuma kotak kunci pas, dongkrak, ban serep, tumpukan kain lap. Mesinnya?

“Ya ampun! Si ceking ini ngerjain aku lagi”, Keken menahan dongkolnya sambil mencubit pinggang Otong. Mahluk ceking itu menghindar sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dari jaman nabi Adam sampai sekarang, yang namanya vw kodok biasanya tempat mesin ada di belakang. Kena lagi deh gue.

“Aku jalan ke kantor pos aja ya. Kamu betulin mesinnya. Udah dekat koq”, kata Keken sambil melangkah ke arah gedung kantor pos yang cuma beberapa meter lagi.

“Hati-hati ya, biasanya disini suka ada razia orang gila”, terdengar Otong kembali godain Keken. Cewek itu menoleh sebentar sambil memonyongkan mulutnya. Lalu kembali melanjutkan langkahnya.

======

Suasana sepi. Cuma beberapa orang aja yang ada didalam kantor pos itu. Gak tau, yang lain pada kemanaan. Mungkin udah pada belajar ngirim paket pakai sms.

Gak lama kemudian Keken sudah sibuk mengisi beberapa kolom pada formulir pengiriman. Selesai sudah. Paket yang gak sampai satu kilo beratnya itu pun sudah ditimbang juga. Tinggal ngelunasin biaya pengirimannya. Pas nerima kembalian, terdengar suara bertanya dari bapak yang dari tadi memang berdiri disebelahnya. Yang bolak-balik minta ganti formulir baru gara-gara salah nulis isiannya. Wah…, kalau ada 10 lagi orang kayak gini, kanto pos bisa bangkrut.

“Kenapa pak?”, tanya Keken pada bapak itu. Dia kurang mendengar pertanyaan itu. Maklum, telinganya agak budek belakangan ini.

“Ngirim paket kilat ya mbak”, bapak itu mengulang pertanyaannya. Mungkin sekedar mau berbasa-basi aja.
“Iya pak”, jawab Keken. Bapak itu kembali meremas dan membuang kertas formulir yang sudah separuh diisinya ke keranjang sampah. Salah isi lagi deh.

“Paket kilat itu kadang cepat nyampainya, kadang juga lambat”, jawab bapak itu sambil memilih formulir yang baru.
“Koq bisa gitu pak? Apa tergantung sama tujuan paketnya?”, tanya Keken agak tertarik. Soalnya dia baru aja menggunakan pengiriman paket kilat.

“Bukan tergantung sama tujuannya, tapi tergantung dengan cuaca”, jawab bapak itu pelan, tapi jelas terdengar di telinga Keken.
“Koq bisa tergantung sama cuaca sih? Apa hubungannya?”, Keken jadi heran.
“Lha iya lah. Kalau cuacanya cerah, paketnya malah terlambat sampai ke tujuan”, jawab si bapak.

“Lho.., mestinya malah cepat sampai. Cuaca cerah berarti semua bisa lancar. Penerbangan atau pelayaran yang membawa paket itu gak mengalami hambatan”, Keken mulai ngeyel.

“Justru kalau cuaca lagi hujan, paketnya cepat sampai ke tujuan. Namanya juga paket kilat. Nah…, kalau cuaca cerah, gimana mau cepat nyampai, wong gak ada kilat sama sekali”, bapak itu menyerahkan form pengiriman yang sudah selesai diisinya. Hehehe…, akhirnya ada yang selamat juga tuh kertas formulir.

Glek. Keken terhenyak seketika. Busyet, hari ini sudah ada 2 orang gila yang ngerjain aku, rutuk Keken sambil ngeloyor ninggalin kantor pos. Biar aja si bapak jadi gila sendirian. Koq malah mau ngajak-ngajak aku jadi gila.

Begitu sampai di depan, sudah ada si Otong menunggu dengan vw kodoknya om Agus. Hari masih panjang. Harus bertemu dengan berapa orang gila lagi di sisa hari ini?

Copyright © 2013. Johan Suryantoro | Template by Full Blog Design | Proudly powered by Blogger
ZonaAero