Oleh: Johan Suryantoro
"Mbah, orang kalau sekolah itu waktunya lama ya?", si kecil Darno bertanya pada bapak tua yang tampak sibuk membetulkan gagang cangkul. Sepertinya tidak terpengaruh dengan pertanyaan cucunya itu. Orang yang dipanggil "mbah" itu masih mengamati cangkul yang sepertinya sudah selesai diperbaikinya.
Darno menggeser duduknya lebih dekat pada si mbah. Dipandanginya wajah tua itu penuh harap, dia masih menunggu jawaban untuk pertanyaannya tadi. Setelah meletakkan cangkulnya, si mbah mulai menoleh pada Darno. "Yang namanya sekolah itu, ya biasanya lama. Apa kamu sudah ndak sabar lagi, mau cepat-cepat lulus. Setelah lulus dari sekolahmu itu", si mbah menunjuk satu arah, mungkin arah letak sekolah dasarnyanya si Darno, "kamu masih harus ngelanjutkan lagi ke SMP."
Si mbah mulai mengisap rokok kretek yang baru disulutnya tadi. Lalu terdengar suara batuk-batuk kecil. Darno menepuk-nepuk pelan punggung mbahnya. "Bukan aku, mbah".
"Kalau bukan kamu, lalu siapa yang harus cepat lulus sekolah?", si mbah kini balik bertanya.
"Pak’e. Koq pak’e sekolahnya lama sekali ya mbah? Memangnya sekolah pilot itu lama ya mbah? Emak bilang memang lama."
Si mbah terbatuk agak kuat, sepertinya agak tersedak. Darno kembali menekan-nekan punggung tua itu.
"Oalah Karti! Ceritamu itu malah jadi bahan pertanyaan untuk anakmu itu. Kenapa ndak bilang saja sama si Darno kalau bapaknya sudah mati. Kita bakal tambah bingung dengan pertanyaan-pertanyaannya yang ndak akan berhenti. Orang yang kamu tunggu-tunggu itu ndak bakal datang lagi. Dia pasti takut ta’kepruk ndhase", si mbah mendesah dalam hati.
"Nah…itu, teman-temanmu sudah ngajak kamu mandi. Sana ambil handuk sama sabunmu. Nanti keburu gelap", si mbah menunjuk 2 orang anak kecil yang melambai-lambai pada Darno.
Meski pun masih belum puas karena mbahnya tidak memjawab pertanyaannya tadi, Darno segera masuk kedalam rumah dan meminta teman-temannya itu menunggu sebentar. Sementara si mbah kembali melanjutkan menikmati asap rokoknya. Tapi pandangannya jadi tertuju kearah lapangan terbang kecil yang terletak agak jauh dari rumah mereka. Setiap hari orang tua itu terpaksa memandang lapangan terbang itu dengan perasaan sesal. Setiap dia keluar dari pintu rumah, pandangannya langsung tertuju kesana. Dan itu selalu terjadi sejak lama. Sepanjang umur Darno yang 2 bulan lagi akan menginjak 8 tahun itu.
------------------
Dulu pohon jambu klutuk ini masih kecil waktu Darno baru lahir, tapi sekarang tingginya sudah melebihi bubungan rumah mereka. Darno kecil sering mencoba untuk memanjatnya. Tingkahnya itu bikin emaknya jadi kalang-kabut. Berteriak-teriak dari jendela dapur untuk menyuruhnya turun dari pohon jambu klutuk.
Tapi sekarang Darno malah sedang asyik nongkrong pada dahan yang agak tinggi di pohon jambu klutuk itu. Dari sini Darno bisa lebih leluasa memandang lapangan terbang yang berada di sebelah selatan itu. Biasanya Darno cuma bisa mendengar suara mesin pesawat terbang lalu tidak lama dia melihat burung besi itu meloncat terbang ke langit. Atau pesawat yang datang entah dari mana dan saat mendarat tidak dapat Darno lihat lagi. Pandangannya terhalang alang-alang tinggi yang banyak tumbuh di sekitar lapangan terbang. Teman-temannya bilang alang-alang itu memang sengaja ditanam.
Karena begitu seringnya memperhatikan pesawat-pesawat terbang yang datang dan pergi di lapangan terbang itu Darno jadi hapal jadwalnya. Kapan pesawat akan tinggal landas dan kapan pesawat yang akan mendarat, Darno sudah tahu jamnya. Si kecil itu sering bertanya-tanya dalam hati, apa salah satu dari pesawat-pesawat terbang itu dikemudikan oleh bapaknya. "Tapi ndak mungkin. Pak’e masih sekolah pilot di tempat yang lain koq. Pak’e mungkin ndak berani bawa pesawatnya ke lapangan terbang itu. Nanti pak’e bisa dimarahi gurunya".
Darno merasa mbah dan emaknya masih lama pulang ke rumah. Tadi pagi sebelum Darno berangkat sekolah, emak bilang mau menemani mbah panen kacang panjang di kebun mereka. Terus sekalian mau dijual di pasar. Mbah juga mau beli pupuk untuk tanaman lombok di belakang rumah. Berarti masih aman. Masih bisa nongkrong di dahan pohon jambu klutuk ini. Masih bisa memandang beberapa pesawat di kejauhan sana. Semua warnanya putih. Ada yang bergaris merah, ada juga yang biru.
Darno punya foto sebuah pesawat. Dia dapat dari koran bekas yang ditemukannya di sekolah. Emak bilang, itu pesawat jet tempur. Pesawat yang dipakai orang untuk berperang. "Sekarang pak’e sedang belajar nyetir pesawat seperti itu", emaknya menambahkan lagi.
"Itu pesawat terbang yang bagus", pikir Darno, "aku kepingin pak’e ngajak aku naik pesawatnya itu. Tapi pak’e masih belum pulang juga. Masih lama". Darno sering berlama-lama memandangi foto pesawat jet tempur itu. Dia suka membayangkan, pak’e sedang mengajarinya terbang dengan jet tempurnya. Hingga suatu hari Darno yang dibantu dengan mbahnya, berhasil membuat pesawat terbang mainan dari kardus. Kerangkanya dari bilah bambu dan bagian-bagiannya disatukan dengan jahitan tali rapia. Ukurannya lumayan besar hingga Darno pun bisa masuk kedalam badan pesawat mainannya itu. Bentuknya mirip dengan pesawat jet tempur dalam foto.
"Darno, turu le…!!", tiba-tiba terdengar teriakan emaknya dari kejauhan. "Waduh.., emak pulang", Darno segera turun pelan-pelan dari dahan pohon jambu klutuk. Begitu sampai di tanah, emak langsung menjewer telinganya. Tidak sakit. Tapi Darno tahu sekarang emaknya pasti sedang marah. Sedangkan mbah cuma melihat ke arah mereka berdua sebentar, lalu segera masuk kedalam rumah.
"Kamu ngapain manjat-manjat, sekarang kan belum waktunya berbuah? Kalau kamu sampai jatuh, bagaimana?", Emak menggerutu. Tapi dengan nada khawatir.
"Cuma mau lihat pesawat terbang koq mak.", Darno menjawab jujur. "Siapa tahu pak’e sudah jadi pilot pesawat yang ada disana. Kita bisa nyuruh pak’e cepat kesini".
Karti terdiam, dan memandang sedih pada anaknya. Tapi dia harus terlihat sedang marah.
"Sana, masuk. Itu tadi mbahmu bawa gethuk dari pasar", Karti menyuruh Darno segera masuk kedalam rumah.
Setelah Darno masuk, Karti sempat melihat sebuah pesawat terbang yang tinggal landas. Sebuah pesawat dengan baling-baling, bukan jet. Pandangannya mengikuti pesawat itu hingga menghilang di kejauhan.
"Mas Trisno, anakmu mulai sering nanyakan kamu. Ini sudah berapa tahun, apa mas ndak kangen sama Darno? Kamu boleh bohongi aku, tapi jangan pada anak kita. Kamu boleh nyuruh aku menunggu sampai kapan pun, tapi jangan si Darno kamu bikin jadi ikut menunggu juga", Karti berkata pelan. Entah pada siapa.
Hampir 8 tahun yang lalu Karti pernah merasa hidupnya begitu sempurna. Menjadi istri salah seorang pegawai perusahaan yang mengerjakan proyek pembangunan lapangan terbang itu sama sekali tidak pernah Karti bayangkan. Di desa yang tidak mengenal hiruk-pikuk kota, itu jadi status yang benar-benar membuat bangga keluarganya. 2 orang kakak laki-lakinya, bapaknya, almarhum emaknya, semua menyarankan Karti menerima ajakan Trisno untuk menikah.
Karti memang tumbuh menjadi gadis yang cantik di desanya. Dalam kebersehajaannya, kehadiran Karti dapat menggetarkan hati laki-laki saat pertama kali melihatnya. Termasuk Trisno. Pertemuannya dengan Trisno diawali saat Karti menemani emak menjajakan ketan kincau sarapan pagi di areal mess pegawai perusahaan yang menangani proyek pembangunan lapangan terbang perintis itu. Dan pada hari-hari berikutnya hampir setiap pagi mereka bertemu. Hingga akhirnya Trisno sering datang ke rumah mereka.
Pak Karto, bapaknya Karti, semula memandang curiga dengan kunjungan Trisno. Tapi melihat sikap sopan anak muda ini, kecurigaannya pun menjadi luntur. Kunjungan demi kunjungan Trisno ke rumah pak Karto pun menjadi semakin sering. Pak Karto selalu menyambutnya dengan hati yang berbunga-bunga. Setelah menemui dan bercakap-capak sebentar dengan Trisno, pak Karto pasti segera memanggil Karti dan menyuruh anak gadisnya itu untuk melanjutkan menemani Trisno.
Kehadiran demi kehadiran yang diberikan Trisno membuat hati Karti menjadi melambung. Kata-kata dari mulut Trisno benar-benar membuai angannya. Hingga suatu hari Trisno meminta ijin pada pak Karto, agar berkenan menjadikan Karti sebagai istrinya. Itu yang ditunggu-tunggu pak Karto. Menjadi mertua seorang pegawai perusahaan dari kota bisa mengangkat martabatnya di mata orang-orang desa. Hari itu juga pak Karto menyetujui lamaran Trisno. Tanpa meminta waktu lagi untuk mempertimbangkannya. Meskipun itu pernikahan siri.
"Ndak apa. Mungkin maksud Trisno akan membuat surat nikahnya nanti di kota. Disini dia masih banyak kerjaan. Sekarang masih belum sempat. Disini hampir semua orang begitu juga kalau menikah", bujuk mas Manto, salah seorang kakak Karti. Terlebih karena Trisno sudah membantu biaya perbaikan rumah mereka. Rumah yang dulu berdinding anyaman bambu itu sekarang sudah berubah jadi semi permanen. Bagian bawah berdinding tembok dan bagian atasnya berdinding papan. Beberapa perabotan baru juga sudah mengisi rumah itu. Semua pemberian dari Trisno.
Tapi itu cerita 8 tahun yang lalu. Trisno pergi meninggalkan Karti saat masih hamil 6 bulan. Trisno bilang dia harus segera mengurus surat penempatannya sebagai kepala perawatan lapangan terbang itu. Dia khawatir jabatan itu akan diambil oleh orang lain. Dia yang harus mendapatkan jabatan itu, agar Trisno dan Karti bisa tetap tinggal di desa itu. Karti benar-benar bahagia mendengarnya dan mengijinkan Trisno untuk pergi mengurus semuanya.
Setelah kepergian Trisno untuk mengurus surat penempatannya, kisah penantian ini pun segera dimulai. Sebulan, dua bulan, hingga Darno lahir, Trisno belum juga pulang. Tetangga yang kebetulan mampir ke rumah sering menanyakan keberadaan Trisno pada Karti. "Koq ndak pernah kelihatan di rumah", itu kalimat yang sering mampir di telinganya. Dan Karti hanya menjawab ringan, "Mas Trisno sedang tugas belajar keluar daerah". Kebohongan yang sama sekali terasa tidak menyenangkan. Kebohongan yang tidak akan pernah melenyapkan perasaan bingungnya.
Pak Karto sudah tidak sabar lagi dengan situasi ini. Dengan ditemani salah seorang kakak Karti, dia dating ke kantor lapangan terbang kecil itu, menanyakan tentang Trisno pada orang-orang disana. Tapi jawaban yang didapatnya malah membuatnya mengamuk di kantor mereka. Ini membuat pak Karto sempat ditahan selama 2 hari di Kantor Polisi.
"Mereka bilang, perusahaan tempat Trisno hanya bertugas membangun lapangan terbang itu. Kontrak kerjanya sudah selesai bulan kemarin. Dan Trisno tidak akan kembali lagi. Mereka juga tidak tahu dimana Trisno sekarang. Orang-orang di kantor itu sekarang dari perusahaan yang lain lagi", dengan terbata-bata pak Karto menceritakan pada Karti tentang keterangan yang sudah didapatnya dari orang-orang di kantor itu.
Bagi Karti, malam itu menjadi seperti dipenuhi cicitan ribuan kelelawar. Meskipun nalurinya sudah menyadari, tapi cerita dari bapaknya itu tetap saja membuatnya terkejut. Tersentak dan mulai memahami, apa yang dulu pernah dia dengan ternyata memang benar. Selalu ada laki-laki yang dating dari kota karena tugas dari perusahaan. Menetap beberapa bulan disuatu tempat untuk menyelesaikan suatu proyek. Bisa membeli apa saja ditempat itu dengan uangnya. Termasuk membeli kepercayaan dari orang-orang setempat. Dan sebagian kecil dari orang-orang yang sudah dibeli rasa percayanya itu, dia dan keluarganya.
Itu sudah 8 tahun berlalu. Tapi penderitaan yang ditanggungnya masih selalu menjadi beban. Ditambah lagi pertanyaan-pertanyaan dari Darno. Pertanyaan-pertanyaan yang sama. Tentang kapan bapaknya pulang. Tentang pesawat apa yang sedang dipelajari bapaknya untuk dikemudikan. Tentang apakah bapaknya akan mengajarinya mengendarai pesawat terbang juga.
Pernah Karti hampir pingsan saat tiba-tiba melihat anaknya itu sedang bersiap-siap meluncur dengan pesawat terbang kardusnya dari atas pohon jambu klutuk di depan rumah itu. Karti berteriak-teriak histeris meminta Darno segera turun. Para tetangga jadi berdatangan karena teriakannya itu. Darno jadi bingung melihat ulah emaknya dan kedatangan para tetangga. Setelah dibujuk-bujuk oleh beberapa orang tetangga, beruntung Darno mau membatalkan aksi itu.
Setelah Darno turun, segera Karti memeluk anaknya itu erat-erat. Seperti tidak ingin dilepaskannya. Ujung rambut Darno jadi basah karena tangisannya. "Ya Gusti, kenapa begini berat cobaan Kau berikan padaku", Karti mengeluh sedih. Dan pesawat terbang mainan buatan Darno itu segera habis dibakarnya.
------------------
"Pak, apa Darno sudah pergi ke pancuran?", Karti bertanya pada bapaknya, mbahnya si Darno.
"Bapak ndak melihat dia dari tadi. Masih gelap begini, masih dingin sekali, masa’ Darno sudah mau mandi pagi?", pak Karto balik bertanya heran. Jarum jam dinding itu memang masih menunjukkan jam 5 lebih sedikit.
"Tapi dia sudah bangun", Karti mulai bingung. Anak itu memang sering tidur dengan emaknya, kadang dengan mbahnya. Karti segera bergegas keluar rumah. "Aku mau lihat ke pancuran".
Tidak lama kemudian Karti sudah kembali ke rumah. Memeriksa setiap bagian rumah, kalau-kalau Darno sedang pindah tempat tidur seperti yang pernah beberapa kali dilakukannya. Tapi anak itu tetap tidak ditemukannya. Sementara hari sudah mulai terang.
"Tadi malam, sebelum dia tidur, Darno cerita pada bapak. Dia ingin sekali menjemput bapaknya. Darno mau naik pesawat terbang untuk menjemput bapaknya", pak Karto berucap pelan. Dilihatnya Karti makin gelisah. Memang aneh, sudah jam segini, kemana si Darno? Seharus dia sudah siap-siap untuk berangkat sekolah.
Di kejauhan sana, dari arah lapangan terbang itu, tampak sebuah pesawat jet berukuran sedang baru saja tinggal landas. Suara deru mesinnya terdengar jelas dari rumah itu. Berarti sekarang sudah jam 7 lebih. Tadi beberapa teman Darno sempat dating ke rumah. Seperti biasa, mereka sering bersama-sama pergi ke sekolah, Tapi yang mereka cari sudah tidak ada di rumah. Mereka juga menjawab tidak tahu saat Karti menanyakan apa mereka melihat Darno pagi itu. Karti juga sudah menanyakan tentang Darno pada beberapa orang yang dikenalnya yang kebetulan sedang lewat di depan rumah. Mereka juga tidak tahu.
"Darno kemana pak?", Karti mulai menangis sesenggukan. Pak Karto juga terlihat mulai bingung. Tiba-tiba dari depan rumah ada suara seseorang mengucapkan salam.
"Monggo pak Margo, silahkan masuk", sambil mengusap air matanya Karti mempersilah pak Margo, kepala Desa mereka itu untuk masuk kedalam rumah. "Monggo, duduk dulu pak. Saya bikin kopi dulu ya pak".
"Terima kasih, Karti. Ndak usah bikin kopi. Sini Karti, pak Karto, kita duduk sama-sama. Ada yang mau saya sampaikan", jawab pak Margo sambil mendahului duduk di kursi tamu rumah itu. Pak Karto dan Karti jadi saling berpandangan penuh tanda tanya.
"Tadi ada si Tarso tetatanggaku yang kerja di lapangan terbang itu datang ke rumah. Dia bilang waktu pesawat yang terbang jam 7 tadi, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang terjatuh dari roda pesawat waktu pesawat mau tinggal landas. Umurnya kira-kira baru 8 tahun. Mungkin anak itu sudah bersembunyi di ruang roda pesawat sejak tadi malam. Tarso bilang anak itu jatuh terguling-guling dan sempat terseret jauh. Sebagian tubuhnya hancur. Anak itu meninggal di tempat. Sekarang masih disemayamkan di ruang kantor lapangan terbang. Aku sempat dengar kamu sedang mencari-cari anakmu tadi pagi. Aku khawatir jangan-jangan……".
Selanjutnya Karti hanya sayup-sayup mendengar suara pak Margo. Pandangannya menjadi gelap dan makin gelap. Semua menjadi terasa begitu hening, dan tubuhnya mendadak terasa lemas hingga limbung dan jatuh ke lantai.....
Bagikan : | Tweet |
Posting Komentar