Oleh: Johan Suryantoro
Kereta api yang membawaku masih terus melaju. Rasanya perjalanan malam ini menjadi sangat lama. Sambil menatap kosong keluar jendela aku minum pelan-pelan kopinya. Ini kopi yang pertama kali aku minum setelah hampir lima tahun. Ya, sudah hampir lima tahun aku menjauhi minuman ini. Bukan karena nasehat dokter, tapi ini caraku untuk melupakan masa lalu. Memang kekanak-kanakan, tapi ini jadi cara yang berhasil meskipun tidak seluruhnya. Tapi malam ini aku kembali membutuhkan segelas kopi. Meskipun satu gelas plastik kopi yang aku beli di kantin stasiun. Bukan expresso di starbucks atau coffee bean. Bukan juga segelas besar kopi buatannya pada setiap malam sebelum lima tahun yang lalu. Lima tahun dan dia. Begitu cepat berlalu. Tidak seperti deru kereta api ini. Deru yang membawaku ke tempat lima tahun lalu.
===========
Aku masih ingat ketika dia berjingkrak senang lalu bergantian memeluk orang-orang yang sedang berada di sekitarnya saat aku menerimanya sebagai gitaris pada band yang tiap malam main di pub milik temanku itu. Gadis itu mengisi posisi Andri yang memutuskan untuk menerima tawaran sebagai penyiar pada sebuah stasiun radio swasta di kotanya. Sebelumnya kami tidak begitu yakin gadis itu bisa menggantikan Andri. Tapi, pada malam pertama dia benar-benar bermain bagus, nyaris sempurna. Dia seperti begitu menyatu dengan fender stratocaster-nya, gitar keluaran tahun 1971. Aku heran, dari mana dia mendapatkan gitar seperti itu. "Salah satu koleksi milik ayah", katanya di kemudian hari.
Setelah tiga malam berlalu, kami dikejutkan dengan gaya permainan gitarnya di malam keempat. Nada-nada yang begitu ekspresif mendominasi pada bagian interlude. Melengking dan meliuk, lalu menukik pada nada-nada rendah. Seperti terbang melesat diantara awan lalu merayap dan mendaki di sela-sela lembah pegunungan. Ruangan pub menjadi seperti padang rumput. Ini membuat beberapa pengunjung pub tidak memalingkan pandangannya ke arah stage. Tepukan tangan yang riuh dari pengunjung selalu mewarnai di akhir lagu. Tanpa sadar aku pun ikut memberikan applaus. Malam itu pun aku segera menyadari, ini karakter permainan gitarnya yang asli.
"Biasa aja.", katanya saat aku bilang para pengunjung kagum pada permainan gitarnya. "Permainan keyboard-mu juga bagus. Pasti mereka sudah lama mengagumi itu", sahutnya lagi.
Terserah dia, yang penting gadis itu sudah menyelamatkan permainan kami.
Malam-malam selanjutnya kami sering terlibat dalam obrolan di sela istirahat atau saat pulang dari pub. Dari ceritanya, aku tahu dia tinggal di rumah keluarga kakaknya yang tidak jauh dari lokasi pub. Orang tuanya tinggal di kota lain. Dan setiap malam dia membuatkan satu gelas kopi untukku. Satu gelas besar. Dia tahu aku suka dengan minuman itu. Supaya bisa lebih fokus pada lagu dan tidak salah menekan tuts keyboard, candanya setiap meletakkan gelas kopi itu pada meja kecil di belakang keyboard. Aku terkekeh mendengar gurauannya itu.
Selama beberapa bulan kami berdua tetap menghibur para pengunjung yang mendatangi pub itu. Bahkan saat teman-teman yang lain mulai berhenti satu per satu. Bambang dan Tatang secara berurutan harus kembali pulang ke kotanya masing-masing setelah mereka menyelesaikan kuliahnya. Sebulan kemudian Ira, vokalis kami, yang cabut karena harus pindah kuliah mengikuti ayahnya yang juga pindah tugas ke tempat lain. Semua meninggalkan posisinya, tinggal aku dan dia. Hingga akhirnya gadis itu selama tiga malam berturut-turut tidak menampakkan batang hidungnya.
"Tiga hari yang lalu ibu memanggil kami pulang. Ayah sakit keras. Levernya kambuh lagi. Beliau tidak bisa tertolong. Dia diminta tinggal untuk melanjutkan usaha ayah mengelola toko peralatan musik itu. Dia minta maaf tidak sempat pamit padamu dan menyesal tidak bisa menemani bermain musik lagi di pub. Dia pun terpaksa menghentikan kuliahnya", mas Anton, kakak gadis itu menjawab pertanyaanku. "Ada titipan surat dari dia untuk kamu".
"Hidup ini seperti sebuah gitar. Seperti fender stratocaster-ku itu. Kadang diam, kadang bernada. Saat bernada pun, tidak selalu mendentingkan nada-nada riang, tapi sering juga menyuarakan lengkingan kesedihan dari lembah yang sangat dalam. Tapi gitar itu harus selalu dimainkan. Dari hari ke hari hingga nada-nada itu menyatu. Suatu hari nanti, kita akan punya waktu lagi untuk sebuah jam session." Lalu torehan tanggal dan tanda tangannya.
Setelah itu, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Juga kabar teman-teman yang lain. Aku sendirian, dan yang lain sudah berlari mengejar tujuannya. Pada bulan kedua, aku pun tidak tahan lagi dan memutuskan untuk menerima tawaran kakakku. Jadi sound enginer di studio rekaman yang beberapa bulan lalu sudah dibelinya. Lalu mengaransemen beberapa lagu yang direkam di studio itu, bikin lagu untuk beberapa vokalis. Dan aku menjadi larut dalam kesibukan itu. Terlupa pada hari-hari yang pernah aku lalui di pub milik temanku itu. Tapi tidak pada dia. Entah kenapa. Hingga lima tahun kemudian.
===========
Pub ini tidak banyak berubah. Pemiliknya juga tidak. Temanku itu masih sering tidak berada di tempatnya. Aku pun tidak tahu mau menemui siapa di tempat itu. Mungkin sekedar keinginan menghirup atmosfir masa lalu. Stage itu pun tidak berubah sama sekali. Tapi tunggu, itu seperti memang tidak berubah sama sekali. Gitar fender stratocaster yang berdiri pada sandarannya itu. Aku kenal gitar itu. Mengapa ada disana? Dan aku segera menemukan jawabannya ketika hidungku mencium aroma kopi yang sangat aku kenal, terasa begitu dekat. Saat aku menoleh, satu gelas kopi dengan kepulan uapnya sudah berada di mejaku.
"Sudah dari kemarin kami menunggu kamu", suaranya itu seharusnya membuat aku terkejut. Di belakangnya sudah berdiri Bambang, Ira, dan Tatang. Mereka pun berhamburan memelukku. Sudah lima tahun. Dan terakhir, dia memelukku lama.
"Kenapa tidak memberi tahu aku?", tanyaku padanya yang masih memelukku.
"Aku takut jatuh cinta padamu", dia mulai menggoda.
"Aku juga".
"Masa’?", lalu gadis itu tersenyum, "sini, aku kasih tahu". Aku mendekatkan telinga ke mulutnya.
"Aku sudah mainkan semua nada dengan gitarku. Dan aku sudah tahu dengan siapa aku harus memainkan nada-nada itu".
Aku memandangnya dengan tatapan lucu, "Dan kamu pasti sudah tahu juga, untuk siapa kamu harus membuatkan segelas kopi setiap hari". Gadis itu tertawa, dan memelukku makin erat. Aku tahu, setiap hari aku akan mendapatkan pelukan itu. Dan tentu saja, segelas kopi yang selalu hangat.
Hidup ini tidak pernah berbasa-basi saat memberikan kejutan.
Bagikan : | Tweet |
Posting Komentar