Oleh: Johan Suryantoro
Sambungan dari episode sebelumnya: Setelah Makan Malam Itu
"Keken…! Keken…! " Ara berteriak-teriak panik memanggil. Tiba-tiba di belakangnya terdengar keras derum mesin. Ara menoleh ke belakang, mobil truk itu bergerak cepat meninggalkan jembatan. Spontan pemuda itu berteriak, "Haii...berhenti! Jahanam, jangan lari!"
Beberapa langkah Ara mencoba mengejar, tapi truk itu sudah melesat jauh. Mustahil bisa terkejar hanya dengan berlari. Sambil terus berteriak memaki Ara berbalik dan berlari lagi ke sisi jembatan. Sebuah mobil Taxi sudah berhenti disitu. Kaca pengemudi diturunkan dan terdengar teriakan memanggil dari si pengemudi, "Ara...!". Ara mengenal pengemudi Taxi itu. Lelaki itu dan mobil taxinya sering mangkal di kantin seberang jalan kampus.
"Apa pak Jati bawa lampu senter?", tanya Ara sambil menggigil kedinginan setelah berdiri di samping Taxi. Hujan sudah mulai reda.
"Ada apa?", pengemudi Taxi berumur menjelang 50 tahun itu balik bertanya. Tapi cepat segera dibukanya laci dashboard. Ada sebuah lampu senter disitu.
"Keken jatuh ke Sungai."
"Hahh..?!", pak Jati ternganga kaget. Cepat diulurkannya lampur senter pada Ara sambil membuka pintu mobil Taxinya. Semenit kemudian dengan tergesa kedua orang itu menuruni anak-anak tangga yang menuju ke bawah kolong jembatan. Sepetak lantai di kolong jembatan sudah hampir terendam air sungai.
Beberapa menit sorot lampu senter menyapu permukaan air sungai di sekitar kolong jembatan. Lalu menyorot hingga beberapa puluh meter mengikuti aliran sungai yang tenang.
"Keken pasti hanyut", Ara menggumam ngeri. Kekhawatiran yang amat sangat makin mencengkeram fikirannya.
"Ara..!", sebuah teriakan memanggil dari atas jembatan. Serentak Ara dan pak Jati mendongakkan kepala keatas. Ara tercekat kaget. Dengan tatapan yang menggambarkan rasa tak percaya Ara memandang lekat keatas jembatan, ke arah Keken yang berdiri disitu. Dikedip-kedipkannya matanya, tapi Keken masih ada berdiri diatas trotoar jembatan itu. Ini bukan khayalanku, batinnya. Dilihatnya pak Jati juga memandang keatas jembatan, ke arah Keken. Tanpa menghiraukan perasaan aneh yang sempat menyergap otaknya, meledaklah tawa senang dari mulut Ara. Rasa takut dan khawatir itu lenyap seketika dan membawanya segera berlari kembali keatas jembatan. Pak Jati mengikuti di belakangnya.
"Kamu tidak apa-apa?", tanya Ara pada Keken sambil menatap cermat pada gadis itu, dari ujung rambut sampai ujung sepatu kets-nya. Keken benar-benar masih utuh, hanya sedang menggigil kedinginan saja. Aneh, Ara membatin.
"Kamu kedinginan", ujar Ara kembali mengkhawatirkan Keken.
"Aku basah kuyup kehujanan, jelas kedinginan", jawab Keken.
"Bukan cuma kehujanan, kamu terjatuh ke sungai", sahut Ara.
"Aku terjatuh ke sungai? Kenapa aku sampai jatuh ke sungai? Dari tadi aku disini. Aku menyeretmu ke trotoar setelah kamu terguling ke tengah jembatan. Kamu pingsan. Saat bingung memikirkan cara untuk membawamu pulang, untung ada Taxi pak Jati datang. Tapi tiba-tiba kamu siuman lalu berteriak-teriak histeris. Meminjam senter pada pak Jati dan berlari ke bawah jembatan. Tahu tidak, kamu sudah bikin aku ketakutan sekali", Keken mencoba menerangkan. Ditatapnya Ara dengan raut wajah khawatir.
"Tidak mungkin", Ara membantah sengit. "Aku memang terpeleset dan terguling ke tengah jalan jembatan karena terkejut dengan suara petir. Tapi aku tidak pingsan. Aku sempat melihat sebuah mobil truk besar melaju dari ujung sana, dan kamu berlari ke tempat aku terduduk. Lalu kamu mengangkat dan melemparkan aku ke trotoar jembatan. Ya Tuhan, seharusnya aku heran bagaimana kamu bisa sekuat itu. Dan dengan sangat jelas aku melihatmu tertabrak mobil truk itu dan terlempar ke bawah jembatan. Jelas sekali aku dengar suara tubuhmu tercebur di sungai. Oohh.., tadi aku benar-benar jadi panik."
"Coba lihat aku baik-baik. Aku cuma basah kuyup. Kalau sebuah mobil truk menabrakku, seharusnya badanku sudah remuk. Mungkin benturan aspal di kepalamu itu membuatmu berhalusinasi yang bukan-bukan. Sudahlah, kita pulang sekarang sebelum kita jadi sakit gara-gara kedinginan," kata Keken.
Ara memandang pada pak Jati. Seakan memohon lelaki paruh baya itu memberikan penjelasan yang terjadi. Pak Jati tidak berkata apa-apa, lalu mengajak mereka berdua masuk ke dalam mobil taxi-nya.
"Aku berhenti ke pinggir saat melihatmu kehujanan, berlari dan berteriak-teriak seperti mengejar sesuatu. Aku terkejut ketika kamu bilang Keken terjatuh ke sungai. Sayangnya aku tidak memperhatikan ke tempat Keken berdiri. Fikiranku hanya tertuju ke kolong jembatan itu, aku fikir Keken memang tercebur ke sungai. Tapi seperti yang kamu lihat, Keken baik-baik saja. Mungkin Keken benar, kepalamu yang membentur aspal itu sudah membuatmu berhalusinasi", pak Jati mencoba menenagkan Ara saat membawa keduanya pulang.
Ara hanya terdiam. Mungkin aku memang berhalusinasi, fikir Ara. Rasa terkejut karena suara petir yang memekakkan telinga lalu kepalanya yang membentur aspal sudah cukup untuk membuat kerja otaknya jadi terganggu. Tapi mengapa bisa terasa benar-benar nyata. Punggungnya masih terasa sangat sakit. Mungkin karena tubuhnya terguling di aspal tadi. Dilirknya Keken yang juga sedang terdiam.
Sebentar kemudian taxi itu sudah berhenti di pinggir jalan, antara rumah Keken dan Ara.
"Kalian berdua turun saja. Malam ini gratis, tidak perlu bayar", kata pak Jati sambil tertawa mencoba menghibur Keken dan Ara.
Kedua anak muda itu tersenyum berterima kasih, lalu keluar dan menutup pintu mobil. Keken cepat kembali dan melongokkan kepala dari jendela mobil.
"Ada apa?", tanya pak Jati.
"Jangan cerita kepada siapa pun ya pak. Nanti Ara bisa jadi malu", pinta Keken. Membuat pak Jati menjadi tertawa terbahak.
"Kamu tenang saja, gadis cantik. Cepat suruh dia pulang, barangkali dia demam", jawab pak Jati.
"Terima kasih untuk tumpangannya, pak", Keken mengeluarkan kepala lagi dan.
Pak Jati melepas injakan kopling, mobil taxinya bergerak pelan meninggalkan Keken dan Ara. Pak Jati masih tersenyum-senyum sambil menggelengkan kepala mengingat kejadian yang dialaminya tadi bersama Keken dan Ara. Ada-ada saja, gumamnya geli. Tiba-tiba ponsel dalam kantong jaketnya berbunyi. Ada yang sedang menghubunginya.
"Ya, halo", pak Jati menjawab panggilan itu. Dengan tenang ia mendengar suara dari lawan bicaranya di ponsel. "Dia baik-baik saja. Tanpa perlu kau tolong pun, dia akan baik-baik saja. Reaksinya memang belum cepat. Mungkin karena dia belum tahu siapa dirinya. Tidak apa. Kita akan segera melatihnya, sebelum si Penghancur keluar dari gerbang. Mudah-mudahan belum terlambat…….",
bersambung…
Bagikan : | Tweet |
Posting Komentar