Oleh: Johan Suryantoro
Melalui kaca etalase rumah makan, Keken bisa mengamati pemuda berpakaian serba hitam itu. Dari awal gadis itu tahu bahwa dia sedang dipandangi oleh seseorang. Ia sudah merasakannya, bahkan sebelum melihatnya melalui kaca etalase itu.
"Ngapain tuh cowok ngeliatin aku terus?", tanya Keken dalam hati sambil sesekali melirik ke arah kaca etalase yang ada didekatnya. Dalam fikirannya menebak mungkin begitulah cara penjambret atau perampok bekerja. Mengamat-amati calon korbannya, lalu membuntutinya dan saat sedang berada pada situasi yang memungkinkan baru dia melakukan aksi kejahatannya. Wuiiihhh…, Keken jadi merinding membayangkan fikirannya sendiri. Masa’ di tempat seramai ini?
Kembali ekor mata Keken melirik ke arah kaca etalase. Pemuda itu sekilas seperti menyunggingkan senyum kecil. Sepertinya dia tahu bahwa Keken sedang mengamati gerak-geriknya melalui kaca etalase itu. Ini membuat hati Keken makin khawatir.
"Si Ara mana sih, koq belum datang?", gerutu Keken pelan.
Keken hendak mengambil ponsel dari dalam tasnya saat orang yang sedang ditunggunya itu sudah menarik kursi dan segera duduk di depannya.
"Lain kali, kalau mau datang jam tujuh, ya jam tujuh sudah ada disini", omel Keken sambil kembali menutup tas. Yang diomelin hanya tertawa kecil. "Cengengas-cengenges, bukannya minta maaf." Keken masih melanjutkan omelannya.
Beberapa saat kemudian dua orang pelayan mendatangi meja mereka sambil membawa makanan yang sudah dipesan Keken sebelumnya. Dengan mata berbinar senang Ara memandangi makanan-makanan yang mulai diletakkan satu per satu diatas meja. Terlihat dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lidahnya sedikit keluar sebentar untuk menjilati bibir atas.
"Kamu yang bayar", kata Keken setelah kedua pelayan itu pergi. Membuat binar di wajah Ara menghilang dengan seketika.
"Koq aku lagi sih? Kemarin aku juga yang bayar, kan", rengek Ara memelas.
"Kalau kamu bisa datang tepat waktu, gak bikin aku nunggu lama, peraturan masih bisa berlaku. Tapi nyatanya?" Keken berargumen tanpa menghiraukan ekspresi kesal di wajah Ara.
"Tapi..Ken…, jam kuliahku baru selesai tadi", jawab Ara membela diri.
"Iya. Tapi kamu yang janji datang kesini jam tujuh, kan", balas Keken. Ara hanya bisa mendesah kesal. Diajaknya pemuda itu untuk mulai makan.
Sambil makan, Keken sekali lagi menyempatkan matanya untuk melirik ke arah kaca etalase. Pemuda berpakaian stelan berwarna serba hitam itu sudah tidak ada di mejanya. Pasti dia takut melihat kedatangan kingkong satu ini, Keken membatin. Meskipun tidak kekar, tapi Ara memang berpostur cukup tinggi besar untuk ukuran orang-orang sini. Dengan rambut ikal yang agak gondrong dan cara berpakaian yang tidak pernah terlihat rapi, pemuda itu lebih mirip seperti preman. Tapi nyalinya tidak setinggi besar posturnya. Itulah sebabnya Keken menjadi sangat bisa mengendalikan Ara. Mereka berdua berteman sejak dua tahun yang lalu. Ketika sama-sama mulai kuliah di kampus yang sama dan kebetulan rumah kontrakan Keken bersebelahan dengan rumah orang tua Ara.
"Makanan yang aku pesan enak, kan. Sekarang kita harus cepat pulang. Sebentar lagi turun hujan", kata Keken pada Ara.
Ara mengangguk-anggukkan kepala sambil melap mulutnya dengan tissue.
"Sekarang pada bagian yang gak enaknya", jawab Ara, lalu berdiri dan melangkah menuju kasir. Keken tersenyum menang.
Selang beberapa saat kemudian mereka berdua sudah keluar dari rumah makan itu. Saat sudah berada di luar, tiba-tiba Keken seperti merasakan sesuatu dan membuatnya menolehkan kepala ke kanan. Dua puluh meter dari tempat mereka berdiri, Keken melihat pemudah berpakaian stelan berwarna serba hitam yang tadi ada didalam restoran itu sedang berdiri sambil memandangi mereka berdua. Aneh..., pemuda itu tidak tampak terkejut seperti layaknya orang yang kepergok sedang mengamati orang lain. Dia hanya menyunggingkan senyum kecil, membalikkan badannya, lalu berjalan pergi.
Dan detik itu juga butir-butir kecil air berjatuhan dari langit. Hujan mulai turun rintik-rintik. Ini membuat Keken dan Ara serentak berlari-lari kecil menuju sebuah jembatan. Beberapa meter di seberang jembatan itu rumah-rumah mereka berdua berada.
Saat hampir berada di tengah jembatan hujan menjadi turun lebih deras, bukan rintik-rintik lagi. Tanpa dikomando, Keken dan Ara berlari lebih kencang diatas trotoar jembatan itu. Tiba-tiba petir menyambar diatas langit. Meskipun sangat jauh tinggi di awan, tapi suara petir yang menggelegar itu sempat membuat Ara sangat terkejut. Sudah cukup membuat langkah larinya menjadi tidak terkontrol. Saat kaki kanannya menjejak keluar dari badan trotoar, pemuda berbadan tinggi besar itupun langsung terguling-guling ke tengah jalan.
Keken tercekat dan memekik tertahan melihat yang terjadi pada Ara. Terlebih saat dilihatnya sebuah mobil truk melaju dari ujung jembatan. Entah mendapat tenaga dari mana, Keken berlari cepat kearah Ara yang sudah duduk tapi menjadi linglung saat menyadari dirinya sedang berada di tengah jalan jembatan. Detik berikutnya Ara merasakan Keken mengangkat tubuh besarnya sebentar kemudian melemparkannya ke arah trotoar jembatan. Ini membuat tubuhnya terjajar pada pagar jembatan. Hempasan tubuhnya di trotoar hampir membuatnya pingsan dan pandangannya agak berkunang. Tapi ia masih berusaha melihat Keken.
Dengan pandangan yang tak berkedip, Ara melihat Keken berusaha cepat melompat menghindari mobil truk itu. Suara mendecit keras dari roda yang bergesekan dengan aspal menandakan pengemudi mobil truk itu sedang berusaha mati-matian menginjak rem bisnya dalam-dalam. Tapi itu sudah sangat terlambat. Terdengar benturan keras saat tubuh Keken tersambar bagian sudut kanan depan truk....
Ara memandang ngeri pada tubuh Keken yang terlempar keras hingga keluar pagar jembatan. Lalu terdengar suara tubuh gadis itu tercebur ke sungai.
Meski sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, Ara memaksa bangkit dan berlari ke arah sisi jembatan tempat Keken terlempar tadi. Dengan pandangan nanar ia memandang ke bawah jembatan. Riak-riak air yang melingkar masih jelas terlihat di permukaan sungai tempat tubuh Keken jatuh tercebur.....
Bersambung ke episode: Halusinasi Ara
Bagikan : | Tweet |
Posting Komentar